Efes/Pixabay |
TUJUH tahun silam para lelaki dan perempuan duduk meriuang di bawah naungan Keris
Cintaka, pusaka Jakfar Shadiq, di balai beratap limas yang disebut Tajug.
Sejarah sedang dibuat lagi. Semua khusyu saat tembang
bergulir. Huruf pegon terserak di layar diterangi cahaya proyektor. Mereka
sedang membaca sejarah untuk menemukan sejarah dan menciptakan sejarah lagi.
Pembacaan itu mewarnai hari-hari orang Kudus Kulon setiap
tanggal 19 Rajab sampai tujuh tahun setelahnya. Mungkin sampai Rajab itu
jengah, karena diperingati oleh orang-orang itu saja. Yang istikamah menjaga
kekudusan Masjid Al Aqsha. Merawat simbol hidup batu andesit (?) bertulis huruf
arab di atas mihrab setengah lonjong.
Hasil pembacaan ulang atas prasasti Condro
Sengkolo jenis lombo mengubah pendulum sejarah yang telah diukir empat kali.
Deretan tafsir hari lahir Masjid Al Aqsha bertambah. Pembacaan kali terakhir
itu diyakini selama tujuh tahun belakangan. Perubahan sejarah mungkin nanti
bisa terjadi lagi selama bukti-bukti mencukupi
.***
FYI: Ini akan jadi reportase jurnalistik kalau empat versi
pembacaan prasasti diungkap di sini. Mungkin lain kesempatan.
***
Pada 19 Rajab, pengurus Masjid Al Aqsha seperti orang mantu.
Teratak dipasang di halaman parkir kantor yayasan. Panggung ditata dengan
dekorasi penuh warna kayu: coklat. Di sana-sini, para lelaki mengenakan sarung
batik, berbaju koko putih lengan panjang dan kepalanya dibalut kain batik
segitiga. Kata panitia, "Agar seperti zaman mbah sunan."
Drescode itu menonjolkan kekunoan. Tapi tidak wajib bagi
tamu tak diundang yang sekonyong-konyong bisa datang dari mana saja. Mereka
menyediakan aneka kudapan ringan dan makanan berat yang juga kuno menurut
ukuran orang Kudus Kulon ini. Sayur Lodeh berbahan buah nangka muda (yang konon
namanya berasal dari ungkapan anak zaman saiki 'terserah lo deh') dan Puli
Kotokan ada di antara beberapa kuliner malam itu.
Suasana itu berhasil menciptakan lorong waktu tidak hanya
bagi acara itu tapi juga bagi peserta. Reuni kilat pun lahir. Saling
bercengkrama antarpeserta begitu hangat. Terselip pisuhan khas Kudus yang
begitu fasih dilafalkan dengan imbuhan 'nem'.
Semua orang larut dalam peringatan hari lahir Masjid Al
Aqsha itu. 19 Rajab 956 Hijriyah. Setelah 483 tahun hijriyah, orang-orang tak
melupakan berdirinya Kota Kudus yang dinisbatkan dari prasasti di dalam masjid.
Apa sebabnya?
Pengurus yayasan antistatus quo. Mereka menciptakan
budaya tanding. Tradisi pemberontakan budaya orang Kudus Kulon terhadap Kudus
Wetan masih bertahan. Kudus Kulon yang disimbolkan dengan kengeyelan falaknya
berkali-kali vis a vis dengan Kudus Wetan. Pembacaan prasasti paling anyar itu
berlangsung tujuh tahun lalu tepatnya 27 Juli 2011 dengan hasil (sementara)
kelahiran Kota Kudus pada 19 Rajab 956 Hijriyah.
Pengurus tak lagi
mengonversinya menjadi tahun masehi. Peringatan kelahiran Kota Kudus tujuh
tahun terakhir dilaksanakan pengurus yayasan masjid mengacu kalender hijriyah.
Ini juga bagian dari tradisi pemberontakan (heroisme?) falak yang telah
mengakar lama sejak zaman KH Turaichan Adjhuri.
Budaya macam apa yang ditandingi? Versi pemerintah
berbeda-beda tentang hari lahir dan mereka keukeuh pada pendirian sesuai
peraturan daerah yang sudah usang dan seharusnya dibatalkan Mendagri.
Pemerintah daerah dengan dana besar, pengerahan masa dan penghamburan dana APBD
hanya memeringati sejarah yang salah setiap tanggal 23 September.
Budaya malas belajar sejarah para birokrat belum sembuh
meski dengan terang-benderang mereka sedang dilemahkan harga dirinya. Mungkin
mereka mengidap penyakit yang disebut Hannah Arendt sebagai banalitas
kejahatan. Sesuatu kejahatan yang berulang tanpa disadari menjadi hal biasa
(banal).
Lalu siapa yang menang? Mbah Sunan. Semua versi sejarah hari
lahir dinisbatkan kepada sosoknya. Orang Kudus Kulon dan Kudus Wetan boleh saja
berbeda pendirian, toh siapa yang tidak menyebut Mbah Sunan, bukan?
Dan siapa yang kalah? Tentu para bupati. Mereka mengakhiri
masa jabatan secara 'suul khatimah'. Tiada
legacy apapun menyangkut hal paling
elementer. Mereka telah bebas buta aksara, tapi belum bebas membaca sejarah alternatif kelahiran kotanya. Seperti katak dalam tempurung, bukan? [Zakki Amali]
*Ditulis sebagai bentuk apresiasi peringatan Hari Lahir Masjid Al Aqsha sekaligus Kota Kudus pada 19 Rajab 1439 atau 5 April 2018.
Komentar
Posting Komentar