Oleh: Zakki Amali
IDENTITAS sebuah daerah terkadang cukup diwakili dari nama arak. Saat seseorang
dari luar daerah masuk ke daerah tertentu, minuman tradisional itu menjadi
salah satu bahan percakapan. Arak jadi penanda daerah yang tak terelakkan,
karena budaya ‘minum-minuman’ bergeliat di segala penjuru. Mulai dari bar di
gedung pencakar langit atas sampai warung remang-remang tepi jalan.
Sederet
nama arak lokal cukup tenar di masyarakat. Di antaranya arak di Maluku dikenal Sopi yang diolah dari aren. Lalu ada
Moke dari Nusa Tenggara Timur. Di Tuban ada tuak. Dan di Manado terkenal dengan
Cap Tikus yang berasal dari enau. Dengan menyebut nama arak lokal itu,
seseorang sudah bisa mengidentifikasi sebuah daerah.
Di
Jawa Tengah ada tiga lokasi yang menjadi basis produksi arak lokal yakni
Grobogan (Plumpungan), Sukoharjo (Bekongan) dan Semarang (Congyang dan Orang
Tua). Nama terakhir semakin tenar dengan adanya lagu parodi yang dirilis Angela
Lee dalam Yuotube.
Congyang
sesungguhnya minuman alkohol dari berbahan utama beras golongan B dengan kadar etil
alkohol 5% sampai 20% dengan nama merk Cap Tiga Orang. Konon, seorang tionghoa
kelahiran Semarang, Koh Tiong berada di balik minuman keras (miras) ini.
Ketenaran
lagu itu padu-padan dengan persepsi Congyang di masyarakat. Ia menjadi buah
bibir di akar rumput. Harga sebotol Congyang yang hanya puluhan ribu rupiah itu
lebih terjangkau oleh rakyat kelas bawah dibandingkan miras bermerek lainnya yang
harganya mencapai ratusan ribu rupiah perbotol.
Akar Sejarah
Penggunaan
beras sebagai bahan utama minuman alkohol sejatinya telah berlangsung
beradab-abad lalu. Menurut Fadly Rahman dalam Jejak Rasa Nusantara (2016:44) dengan mengutip buku Nusa Jawa-nya Lombard, pada abad ke-17
di Batavia (Jakarta) telah ada pabrik arak (arak-branderijen).
Bahan bakunya beras dan tebu. Teknologi pengolahan pangan saat itu telah
canggih. Beras yang digunakan makanan pokok didiversivikasi menjadi minuman
penghangat tubuh yang disukai kalangan Eropa.
Congyang
hanya satu di antara arak lokal yang tenar. Keberadaannya yang berada di luar
Batavia menunjukkan minat konsumsi miras juga tinggi di luar Jakarta sebagai
pusat pemerintahan.
Tidak
jelas kapan permulaan produksi minuman fermentasi di Semarang. Namun, teknik
pengolahan pangan yang sudah maju di Batavia waktu itu tidak menutup
kemungkinan telah sampai di tangan orang-orang Tionghoa di Semarang. Hal
terkait dengan jaringan transportrasi laut telah terbangun melalui Pelabuhan
Semarang.
Sekurang-kurangnya,
Congyang yang kini diproduksi secara massal dan legal menunjukkan minat
terhadap arak lokal masih tinggi. Hal ini diperkuat dengan keberadaan
sentra-sentra industri rumahan (home
industry) arak yang berkembang sampai saat ini.
Munculnya
arak lokal ini diperkirakan terkait dengan gaya hidup dan kebutuhan ritual. Di
Bali, arak digunakan untuk ritual upacara.
Di desa-desa Jawa yang memiliki tradisi kesenian secara massal seperti
tayub, minuman hasil sadapan dari bahan pangan itu dikonsumsi secara
bersama-sama untuk keguyuban.
Sebagai
gaya hidup, arak lokal itu menjadi legitimasi rakyat kecil untuk setara dengan
priyayi, ningrat dan pejabat kolonial. Para kaum bangsawan pada pertemuan dan
jamuan makan, menyediakan miras. Gaya itu ditiru dengan membuat miras secara
tradisional.
Teknik
pengolahannya masih tradisional dan sama pada era terdahulu. Seperti arak
Plumpungan menggunakan bahan dasar tapai ketela dengan campuran ragi. Di
sekitar daerah tersebut tidak terdapat pabrik gula, sehingga memanfaatkan bahan
pangan lokal. Bahan itu, disuling dalam periuk terbuat dari tanah liat atau
ketel dari susunan batu bata dan semen yang dipanaskan dengan kayu bakar.
Berbeda
dengan Plumpungan, tetes tebu adalah bahan baku miras lokal Bekonang yang
dikenal dengan nama ciu. Pabrik gula yang telah beroperasi di sekitar Solo pada
masa kolonial menjadi pemasok tetes tebu untuk diolah menjadi miras. Saking
tenarnya arak lokal ini, pernah ada sebuah nama gang di Solo diberi nama Gang
Ciu. Di sana, konon menjadi sentra penjualan arak lokal.
Stereotipe
Keberadaan
arak lokal di tengah-tengah masyarakat memunculkan beragam stereotipe. Terutama
saat mencuat berita miras oplosan yang menelan korban jiwa. Dengan memisahkan
istilah “miras oplosan” secara jernih dapat ditarik kesimpulan penyebab
kematian bukan pada miras, melainkan bahan-bahan berbahaya untuk konsumsi yang
dicampur/dioplos ke dalam miras.
Pada
mulanya miras merupakan jamu yang diminum dengan takaran tertentu. Di belahan
dunia yang memiliki musim dingin, miras menjadi pilihan utama untuk
menghangatkan tubuh. Mabuk terjadi disebabkan konsumsi berlebihan. Adanya
stigma dekadensi moral yang melekat dalam miras menjadikannya semakin
terpinggirkan.
Menguatnya
konservatisme dalam beragama menjadikan miras sebagai objek tak terelakkan
terhadap moral seseorang. Justifikasi moral atas dasar konsumsi miras bukanlah
sebuah langkah yang bijak, karena setiap orang punya kesempatan untuk
memperbaiki diri.
Dalam
agama Islam, asal usul hukum miras dilaksanakan dalam empat tahap. Pertama
berisi informasi berupa ilmu pengetahuan tentang kurma dan anggur yang dapat diolah
sebagai minuman memabukkan (Quran Surat/QS 16:67). Kedua, tentang dosa meminum
miras lebih besar daripada manfaatnya (QS 2:219). Ketiga, berisi larangan salat
dalam kondisi mabuk (QS 4:43). Dan keempat, pengharaman meminum miras (QS
5:90-91).
Proses
ini menunjukkan miras erat kaitannya dengan masalah sosial. Penyelesaiaannya
secara bertahap untuk menghindari gejolak sosial. Pentahapan pelarangan miras
dalam agama dapat diduplikasi sebagai cara menyelamatkan arak lokal.
Ancaman Bisnis
Secara
tradisional arak telah dikenal masyarakat. Bahan utama dijumpai dengan mudah
dalam kehidupan sehari-hari. Bahan pangan seperti beras, ketela, kelapa, enau,
nipa dan lontar diolah secara tradisional dengan cara menyarikan air dari
buahnya kemudian didiamkan di dalam periuk terbuat dari tanah liat atau bambu.
Kedatangan
orang tionghoa ke Indonesia mengubah lanskap bisnis miras. Dari industri
rumahan menjadi industri seutuhnya. Pabrik-pabrik di Batavia menggunakan tetes
tebu sebagai bahan pembuatan minuman keras.
Massifnya
produksi jenewer membuat pemerintah bersikap. Alasan moral melandasi
pengontrolan miras. Moral masyarakat yang telah terkontaminasi miras harus
dimurnikan melalui pembatasan miras dengan pendekatan cukai. Cukai bersifat
mengontrol, sehingga arahnya menekan industri miras.
Nasib
arak ini telah ditentukan paling awal pada abad ke-19 melalui staatsblad
(lembar negara). Yusana Sasanti Dadtun dalam Minuman Keras di Batavia Akhir Abad XIX (2016), menunjukkan aturan
dari pemerintah kolonial yang membatasi produksi jenewer paling awal dimulai
pada 1873. Miras dibatasi berdasarkan produksi, pembeli (militer dan rakyat)
serta cara perolehan (impor).
Aturan
itu menjadi bumerang, karena tujuan yang dicapai untuk memperbaiki kualitas
jenewer tidak terjadi. Aturan yang membatasi itu dilanggar dengan pemalsuan
merek, produksi gelap dan peredaran ilegal. Permintaan miras yang tinggi
menjadi dalih dari pelanggaran aturan.
Aturan-aturan
yang ada saat ini tidak memberikan ruang terhadap nasib arak lokal. Pemerintah
fokus terhadap produk minuman keras legal, sehingga target pendapatan APBN dari
cukai terukur dan terpenuhi.
Pendekatan
hukum positif terbukti menyisakan masalah sosial. Beleid pemerintah menunjukkan
orientasinya pada penegakan hukum dan pengetatan regulasi. Aspek pemberdayaan
yang mengacu kepentingan masyarakat tak tampak. Berkaca pada penetapan hukum
positif dalam agama yang bertahap menunjukkan langkah pemerintah masih setengah
hati. Stereotipe atas miras dan adanya dekadensi moral dalam miras menjadi
latar belakang sikap pemerintah.
Belum
tampak adanya keseriusan pemerintah pusat dan daerah yang warganya menjadi
pengrajin alkohol untuk konsumsi. Para pengrajin dibiarkan menyintas berbagai
medan aturan. Pada gilirannya, mereka hanya menjadi bulan-bulanan aparat yang
saban tahun memiliki program pemberantasan penyakit masyarakat.
Pemberdayaan
dan pendampingan arak yang semula hanya untuk konsumsi bisa menjadi bahan-bahan
berguna untuk dunia modern seperti bidang kesehatan untuk obat-obatan dan peralatan
medis. Malahan, sudah muncul usaha pembuatan pupuk cair dan bioetanol dari
penyulingan tetes tebu secara tradisional. Peningkatan kadar etil alkohol dari
30% untuk konsumsi didongkrak naik menjadi kadar 85% untuk bidang kesehatan.
Hal ini dapat jadi solusi dalam dunia arak.
Di
sentra produksi Bekonang telah diterapkan pola pemberdayaan masyarakat dengan
meningkatkan kadar alkohol dari tetes tebu untuk bidang kesehatan, sehingga
masyarakat tidak kehilangan mata pencaharian. Di sana, sudah tidak lagi
memproduksi alkohol untuk konsumsi, melainkan untuk kepentingan kesehatan.
Arak
lokal mengalami transformasi yang panjang. Dari minuman yang menunjukkan gaya
hidup, sebagai jamu dan kini menjadi alkohol untuk kepentingan publik.
Perubahan ini tak bisa dihindari di tengah dinamika regulasi dan sikap
pemerintah yang cenderung memberangus arak lokal. Stereotipe yang melekat dan
ancaman bisnis masih berkelindan di sana. Perlu langkah-langkah kreatif sebagai
jalan keluar dari berbagai kepungan ancaman. []
Komentar
Posting Komentar