Local Wisdom dan Spiritualitas Tradisi Lomban


Melarung sesaji saat tradisi Lomban di Jepara, Jawa Tengah. Foto: Zakki Amali.



Oleh: Zakki Amali

LEBARAN atau Idul Fitri mempunyai episode lanjutan atau jilid berikutnya dalam tradisi masyarakat Jawa. Lebaran pertama jatuh pada tanggal 1 Syawal dan lebaran jilid dua jatuh pada tanggal 8 Syawal. Lebaran jilid dua ini dinamai Kupatan. Penamaan ini menandakan adanya semacam pesta ketupat dan lepet pada hari itu. Hal ini terbukti dengan gamblang pada tradisi Lomban di Jepara, Jawa Tengah. Kebanyakan orang menyebut tradisi Lomban dengan istilah “kupatan” atau “bakda kupat”.

Tradisi Lomban ini, seperti terungkap dalam artikel antropologi Nova Kristiana (2009), telah berlangsung lebih dari 1 (satu) abad yang lampau. Berita ini bersumber dari tulisan tentang Lomban yang dimuat dalam Kalawarti/Majalah berbahasa Melayu bernama “Slompret Melayu” yang terbit di Semarang pada paruh kedua abad XIX edisi tanggal 12 dan 17 Agustus 1893 yang menceritakan keadaan Lomban pada waktu itu, dan ternyata tidak berbeda dengan apa yang dilaksanakan masyarakat sekarang.

Diungkapkan dalam pemberitaan tersebut, bahwa pusat keramaian pada waktu itu berlangsung di Teluk Jepara dan berakhir di pulau Kelor. Pulau Kelor sekarang adalah kompleks pantai Kartini atau taman rekreasi pantai Kartini yang dulunya masih terpisah dengan daratan di Jepara.

Karena pendangkalan dan diurug oleh masyarakat, maka lama kelamaan antara pulau Kelor dan daratan Jepara menyatu. Pulau Kelor (sekarang pantai Kartini) dahulu pernah menjadi kediaman seorang melayu bernama Encik Lanang, pulau ini dipinjamkan oleh Pemerintah Hindia Belanda kepada Encik Lanang atas jasanya dalam membantu Hindia Belanda dalam perang di Bali.

Dalam tradisi Lomban ini, masyarakat pesisir atau nelayan mempersiapkan ketupat dan lepet untuk dipergunakan dalam “perang ketupat”. Agar suasana lebih ramai, dibawa pula petasan sehingga suasananya ibarat perang sungguhan.

Keberangkatan rombongan perahu ini diiringi dengan gamelan Kebogiro. Usai perang ketupan (kupat), rombongan mendarat di pulau Kelor untuk menikmati bekalnya masing-masing. Pada tradisi Lomban, peserta tak lupa berziarah ke makam Encik Lanang yang berada di pulau Kelor. Sebelum sore hari tradisi Lomban berakhir.

Dalam tradisi Lomban itu pula dilarung sejumlah sesaji beserta ube rampenya, berupa, Kepala Kerbau, kaki, kulit dan jerohannya dibungkus dengan kain mori putih. Sesaji lainnya berisi sepasang kupat dan lepet, bubur merah putih, jajan pasar, arang-arang kambong (beras digoreng), nasi yang diatasnya ditutupi ikan, jajan pasar, ayam dekeman (ingkung), dan kembang. Air di sekitar sesaji yang dilarung dipercaya dapat membawa berkah, maka para nelayan yang mengiringinya berebut mengambil air itu untuk kemudian disiramkan di perahunya.

Kearifan lokal (local wisdom) warga pesisir yang terus-menerus dipelihara kini mewujud atraksi wisata bahari setiap tahunnya. Momen Lebaran juga menjadi momen wisata bagi seluruh masyarakat. Lomban yang dikemas secara atraktif mampu menarik wisatawan. Penggabungan unsur wisata ke dalam tradisi tak menggeser makna tradisi tersebut. Justru keberadaan pemerintah dalam mengemas tradisi dan kearifan masyarakat pesisir mampu memberikan dampak bagi tumbuhnya peluang penyediaan barang dan jasa untuk dijajakan kepada masyarakat yang hadir.

Lomban merupakan bagian dari momen Syawalan. Sebuah momen libur panjang yang mampu menyumbang retribusi sebesar Rp 1,8 miliar pada tahun 2014. Dengan demikian, tradisi Lomban telah menjadi salah satu magnet dalam momen Syawalan yang berdampak bagi daerah dan pada akhirnya dana tersebut menjadi modal bagi pembangunan pariwisata daerah.

Spiritualitas
Dalam pemaknaan lain, Lomban tersebut menyimpulkan pelbagai corak kehidupan spiritualitas masyarakat pesisiran. Dominasi corak spiritualitas cenderung mengarah pada pengakuan terhadap suatu “kuasa” di luar dirinya. Mereka percaya bahwa alam semesta ini ada yang mengatur. Sebuah kekuatan gaib yang dalam istilah agama disebut Tuhan. Kepercayaan terhadap yang gaib itu tidak lepas dari pamrih nyata agar hasil laut melimpah ruah.

Mereka percaya jika berdamai, melalui tradisi Lomban, dengan kekuatan gaib itu, halangan rintangan dalam melaut  sirna, setidaknya terkurangi. Sesaji yang diberikan adalah bentuk “lobi” kepada para penguasa alam gaib yang dipercaya memegang kendali atas laut. Lobi tersebut sengaja dirancang sesuai kebutuhan penguasa laut. Konon Kepala Kerbau merupakan konsumsi para mahluk gaib yang berdiam di luat. Uborampe lain juga, barangkali, merupakan pesanan dari penguasa laut.

Bentuk “perdamaian” tersebut, jika kita analogikan pada istilah adalah agama adalah sedekah. Sedekah kepada mahluk yang tak terlihat. Maka di sini kita menemukan kearifan masyarakat pesisiran dalam berlaut. Laut sebagai lingkungan atau tempat mencari nafkah dihargai dan dirawat, dalam hal ini adalah penguasa laut itu.

Hal ini merupakan kepedulian sosial yang tinggi. Karena mereka bersedekah pada entitas yang tidak terlihat. Dalam dunia rasio sedekah ini menjadi keraguan tinggi. Sudut pandang itu menangkap laku kosong sedekah itu. Karena objek yang disedekahi tidak nyata (tidak ada). Sehingga yang timbul adalah penolakan terhadap tradisi (sedekah) tersebut. Dengan argumentasi kesia-siaan dalam bertradisi. Seolah hanya membuang waktu, tenaga, dan harta.

Namun, mata batin masyarakat pesisiran melihat perlakuan tersebut diterima langsung oleh penguasa laut. Irasionalitas ini menjadi bekal untuk tetap mempertahankan tradisi Lomban. Kepercayaan tersebut memang irasional, namun mampu memberi kekuatan baru untuk melaut. Ada sugesti menjadi optimis menatap hidup. Di sinilah kearifan dalam tradisi Lomban itu mewujud menjadi kekuatan yang terus menerus mendorong masyarakat pesisir untuk menatap hidup lebih baik.

Pada akhirnya tradisi Lomban mempunyai relevansi terhadap kehidupan kekinian yang serba modern. Spiritualitas dalam tradisi Lomban menjadi bekal untuk bertahan dari seleksi alam (survival of the fittest) kekinian yang seringkali membingungkan. Masyarakat pesisiran seringkali menjadi objek yang tak diuntungkan terhadap kebijakan politik kelauatan. Ini berpretensi mendulang kecemasan yang luar biasa terhadap pemenuhan akan kebutuhan hidup.


Maka, di sinilah nilai-nilai spiritualitas beroperasi. Nilai itu terus memompa optimisme dan motivasi untuk memajukan kehidupan. Dari tradisi Lomban itu, masyarakat pesisiran akan terus melaju dengan perahunya di hamparan samudera untuk hidup dan menghidupi. []

Komentar