UDARA kering menerpa kulit kaki. Kain sarung yang membalut
tubuh kurus tak menutup seluruh kaki. Kulit di sekitar mata kaki merasakan
terpaan keringnya udara pada tahun-tahun yang kulewati di sebuah pesantren di
gang sempit.
Pada Kamis sore, perjalanan menuju makam-makam pendiri
pesantren terasa lebih ringan. Bersama santri dan teman lainnya, udara kering
hanya sesekali terasa. Dalam perjalanan melalui gang dan jalan sempit di
sekitar Kota Tua Kudus atau Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus, terbersit
rasa yang aneh. Tembok-tembok tebal menjulang tinggi menyerupai sebuah benteng.
Entah membentengi dari apa dan siapa.
Satu dekade berlalu, tembok yang keras dan angkuh yang
membayangi langkah menuju makam pendiri pondok saya mulai terjawab. Perlahan-lahan,
manusia dan benda di balik tembok terlihat melalui pintu yang kadang-kadang terbuka
saat sang pemilik masuk atau meninggalkan rumah.
Apa yang terjadi di balik tembok semakin tampak. Orang-orang
di balik tembok, di antaranya teman saya sewaktu di sekolah menengah atas. Kesempatan
memasuki rumah kunonya terjadi setelah masa-masa putih-abu-abu berlalu. Dalam
sebuah kunjungan pejabat purbakala, saya ikut di dalamnya dan terkagum.
Kunjungan
itu, seolah menjawab rasa kepanasaran yang menggelayut di benak. Rumah joglo pencu
yang seluruh bagiannya ditopang dari kayu berukir indah perpaduan motif dari
kebudayan Tiongkok, Timur Tengah dan Barat. Ini adalah mutiara kebudayaan yang
dibentengi dengan tembok tinggi dan tebal.
Rumah-rumah serupa bertebaran di sekitar kompleks Menara
Kudus. Peneliti menyebut wilayah tersebut adalah Kudus Kulon. Pemisah antara
dua kutub ideologis kulon dan wetan adalah Kali Gelis. Kudus Kulon pada era
lama—mungkin pada masa penjajahan—dimaknai daerah berisi orang-orang taat (santri)
dan pedagang. Di sisi Kudus Wetan berisi aristokrat yang “kotor”.
Persaingan dua kutub ideologis melahirkan patronase orang
Kudus Kulon antipegawai pemerintahan. Patronase yang dipertahankan dan
dibuktikan dengan kerja keras. Rumah-rumah joglo pencu adalah pembuktian
patronase itu. Sikap sebagai santri dan pekerja keras melahirkan sistem nilai
bernama Gusjigang (bagus akhlaknya, pintar mengaji dan suka berdagang).
Sistem nilai ini mewujud dalam nafas kehidupan orang Kudus.
Garis batas imajiner antara kulon dan wetan kini telah hilang. Sistem nilai ini
telah melewati masa yang panjang. Orang-orang Kudus ini telah menjadikan sistem
nilai Gusjigang sebagai sebuah model dalam menjadi pribadi.
Rumah Adat Kudus atau Joglo Pencu di Museum Kretek. Foto Zakki Amali. |
Kretek, Bisnis
Andalan
Keberadaan rokok kretek memberikan warna baru dalam
usaha-usaha para pribumi membangun kerajaan bisnisnya. Batik pernah hidup dalam
detak perekonomian di Kudus Kulon. Tetapi pamornya diduga hilang usai kerusuhan
antaretnis pribumi dan Cina pada 1918. Persaingan usaha batik antara pribumi
dan Cina diduga ikut menjadi backgroud
dari kerusuhan rasial pertama abad ke-20 di Indonesia.
Kretek menjadi primadona bisnis baru bagi orang Kudus. Kretek
kini telah menjelma bagai kapal yang mengambangkan Kudus melewati masa-masa
sulit dalam pergolakan zaman. Nitisemito muncul sebagai “raja kretek” di antara
Perang Dunia I dan Perang Dunia II atau pada awal abad ke-20. Lance Castles (1982:
62) mengambarkan Nitisemito sebagai:
“...Teladan terbaik
penduduk asli yang kaya tetapi bukan aristokrat, perwujudan yang jarang terjadi
pada masa kekuasaan Belanda.”
Kemunculan kretek diduga kuat berasal dari tangan Haji Djamhari. Warga asli Kudus yang meninggal di Tasikmalaya pada 10 Juni 1962. Sebelum menghilang dari Kudus, dia adalah anggota Syarekat Islam (SI) Cabang Kudus. Tetapi setelah terjadi kerusuhan antaretnis, Djamhari menghilang dan berada di Jawa Barat hingga akhir usianya. Menghilangnya Djamhari terkait munculnya tuduhan yang mengarah keterlibatan SI dalam kerusuhan (Edy Supratno, 2015).
Campuran tembakau dan cengkih digunakan Djamhari untuk
mengobati sakit asmanya dan memopulerkan kepada sahabat-sahabatnya pada tahun
1870 (Castles, 1982: 60). Pada abad ke-17, Castles memaparkan, sudah ada kebiasaan
mencampur cengkih dengan tembakau, tetapi bukan ditujukan untuk pengobatan. Cara
Djamhari mengobati sakitnya menjadi populer dan menjelma menjadi komoditas yang
sangat menguntungkan.
Haji Djamhari, penemu rokok kretek. Diambil dari dokumentasi Edy Supratno. Foto Zakki Amali. |
Sambutan pasar terhadap kretek sangat antusias. Nitisemito
membangun kerajaan rokoknya dengan mendirikan pabrik bernama Bal Tiga. Hingga
saat ini jejaknya masih dapat dijumpai di Jalan Sunan Kudus tepatnya di sebelah
barat dan timur jembatan yang membentang di atas Kali Gelis yang membelah
Kudus. Bal Tiga masih tampak pada atap bangunan kembar (Omah Kembar) kuna gaya
Eropa. Jejak Corporat Social Responsibility
(CSR) perusahaannya dijumpai dengan mudah di masjid-masjid di Jawa Tengah.
Pada zamannya, dia dikenal sebagai Raja Kretek. Saat itu belum dikenal istilah
CSR, tetapi Nitisemito telah mempraktikkan cara-cara dalam pengelolaan CSR.
Industri ini menjadi sumber penghidupan dan mata pencarian
warga satu abad lebih. Warga Kudus, terutama kaum perempuan, merupakan
dipekerjakan dalam jumlah besar untuk melinting rokok kretek. Zaman telah
berubah dengan munculnya mesin-mesin pencetak rokok yang mampu menghasilkan
jutaan batang permenit. Tetapi perusahaan rokok di Kudus tetap mempertahankan
sigaret kretek tangan (SKT) pada satu sisi dan mengembangkan sigaret kretek mesin
(SKM) pada sisi yang lain. Industri ini telah mengangkat dan membentengi warga
Kudus dari ancaman kemiskinan.
Menopang Perekonomian
Industri rokok telah menopang perekonomian warga Kudus. Pada tahun
2013, jumlah industri rokok skala besar menurut data Badan Pusat Statistik (BPS)
Kabupaten Kudus sebanyak 62 unit (34,35% dari 181 industri besar) dengan jumlah
pekerja 75.137 orang (75,98% dari total pekerja 98.890 orang). Sangat masuk akal
apabila kontribusi kretek paling besar dalam pembangunan Kudus. Industri pengolahan
tembakau ini telah berlangsung nyaris seabad lebih jika dihitung sejak
berdirinya kerayaan bisnis rokok Nitisemito pada tahun 1916. Kontribusinya pada
daerah yang secara geografis kecil ini sangat besar. Rokok telah menopang
perekonomian dan kehidupan ekonomi warganya.
Selama 2014, industri rokok besar menghasilkan 75,5 miliar
batang atau naik 5,59% pada tahun 2013. Dari produksi itu, industri rokok menyumbang
pemasukan negara dari cukai sebesar Rp 24,06 triliun atau naik 13,78% dari Rp
21,14 triliun pada tahun 2013. Jumlah produksi rokok dan cukai yang naik setiap
tahun berimbas pada naiknya perolehan dana bagi hasil cukai hasil tembakau yang
dijadikan modal bagi pembangunan Kudus. Tidak mengherankan jika citra Kudus
sebagai Kota Kretek telah dikenal di seantero daerah di Indonesia.
Ketika mulai diberlakukan kebijakan pemerintah mengenai Dana
Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT), Kudus merupakan daerah dengan
penerimaan tinggi di Jawa Tengah. Pada 2013, penerimaan DBHCHT sebesar Rp 104,30
miliar. Pada 2014, menerima Rp 104,51 miliar (antarajateng.com).
Pada 2015, Kudus mendapat alokasi DBHCHT sebesar Rp 118,21 miliar (solopos.com).
Dari data tiga tahun terakhir tersebut, perolehan DBHCHT
selalu naik. Hal ini sesuai dengan pendapat pemerintah atas cukai hasil
tembakau atau rokok yang dibayarkan perusahaan-perusahaan rokok di Kudus yang
selalu naik setiap tahun. Kenaikan target cukai rokok setiap tahun dinaikkan
sebagaimana falsafah cukai sebagai bentuk pengendalian terhadap rokok. Tetapi
Pemkab Kudus tetap menerima dana bagi hasil sebagai konsekuensi sebagai daerah
penghasil hasil tembakau. Dana itu digulirkan dalam program-program yang selaras
dengan peraturan dan petunjuk mengenai penggunaan DBHCHT.
Kretek Sebagai Asas
Pembangunan
Kudus membangun atau kalau dibalik jadi membangun Kudus
sudah selaiknya mempertimbangkan aspek kretek dari sisi sejarah, sosial-seni-budaya,
ekonomi dan politik. Landasan pembangunan Kudus modern diawali perkembangan kretek
dari era sebelum kemerdekaan dan pasca kemerdekaan. Industri kretek telah ada
pada awal abad ke-20 hingga abad ke-21. Keberadaannya menyumbangkan pundi-pundi
rupiah bagi pemerintahan dan menjadi mata pencaharian utama bagi warga Kudus.
Museum Kretek. Foto Zakki Amali. |
Dari sisi budaya, kretek telah menjadi brand bagi Kudus. Kudus Kota Kretek. Cengkih dan tembakau yang
merupakan asal muasal kretek telah bertengger di Kudus. Seni instalasi yang
mengambarkan cengkih berada di dekat alun-alun dan pendopo kabupaten, sementara
daun tembakau berada di pintu masuk dan keluar Kudus di sisi selatan yang
berbatasan dengan Demak. Landmark Kudus diperkuat dengan bangunan ala Hollywood yang
bertulis Kudus Kota Kretek. Dua penanda kota ini telah masuk ke dalam alam bawah sadar
warga dan pendatang mengenai citra Kudus sebagai penghasil rokok dan
menunjukkan kontribusi yang luar biasa dari perusahaan rokok karena dua momumen kota itu dibangun dari dana perusahaan rokok.
Masa lalu dan masa kini bertautan di Kudus. Masa lalu
kretek terkemas dalam sebuah museum dan masa kini tersaji di ruang publik. Pembangunan
Kudus melaju di atas dua rel yang sejajar. Faktor kretek dalam pembangunan sudah
saatnya jadi perhatian bersama.
Pemerintah sudah selaiknya mendukung perusahaan dalam
mempertahankan produksi kretek. Dari sisi regulasi, belum ada peraturan daerah
yang menyinggung soal kretek sebagai sebuah aset seperti ekonomi dan budaya.
Unsur kretek dalam pembangunan seharusnya menjadi perhatian penting.
Pengembangan Museum Kretek diarahkan pada sisi pengayaan isi materi. Dana APBD
yang nilainya telah melebihi angka Rp 1 triliun perlu dialokasikan lebih banyak ke pengembangan museum.
Sudah diketahui khalayak bahwa kegiatan-kegiatan di Museum Kretek
satu-satunya di Indonesia banyak diisi acara hura-hura seperti orkes dangdut. Pada
tahun ini, kegiatan bernafas intelektual dan bernas menyangkut kretek hampir
tak ada. Bisa jadi, ini terkait penganggaran yang minim dari dinas yang
bertanggungjawab. Bisa jadi juga dalam proses pembahasan anggaran antara
eksekutif dan legislatif tak dimunculkan dan diwacanakan perhatian besar
terhadap pengemngan museum dari pengayaan materi.
Gerakan Kudus Membangun yang dimunculkan dalam lomba blog
ini selaiknya dipertimbangkan dan direspon oleh pemerintah kabupaten. Aspirasi
dari para blogger dari berbagai daearah yang meski lamat-lamat terdengar di
telinga penguasa, perlu digaungkan agar bergulir menjadi wacana publik. Museum Kretek—salah
satu instrumen—yang harus dikembangkan dengan laik dan memadai agar terwujud pembangunan
kemanusiaan di Kudus yang sadar terhadap masa lalu dan masa kini. Kemajuan
museum itu menandakan adanya perhatian besar dari kepala daerah dalam
memperhatikan kretek sebagai pengungkit dan penopang perekonomian secara mikro
dan makro.
Dana bagi hasil cukai memang besar, tetapi memiliki
batasan-batasan yang telah diatur oleh Kementrian Keuangan melalui Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) Nomor 20/PMK.07/2009. Secara garis besar, penggunaan
dana tersebut untuk peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri,
pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, hingga
pemberantasan barang cukai ilegal.
Pada Pasal 7 diatur mengenai pembinaan lingkungan sosial. Ruang
lingkupnya dijabarkan dalam huruf a-f. Tiga huruf di antaranya terkait dengan
pemberdayaan masyarakat di lingkungan industri hasil tembakau. Artinya, peluang
pemerintah kabupaten untuk memanfaatkan dana guna mengentaskan kemiskinan dan mengurangi
pengangguran sangat besar.
Tetapi sayangnya, dari tahun ke tahun perancangan program
tersebut tak maksimal. Hal ini dilihat dari fakta sisa anggaran DBHCHT setiap
tahun jumlahnya sangat besar. Pada akhir tahun ini diperkirakan, anggaran
tersebut yang tak terpakai sebesar Rp 117 miliar (berita.suaramerdeka.com)
Tampaknya program yang monoton setiap tahun menimbulkan
kejenuhan di kalangan satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Kejenuhan itu perlu
diubah dengan pola pikir baru melalui program-program yang lebih kreatif. Tidak
melulu menggelar pelatihan demi pelatihan, tetapi pendampingan usaha dalam
jangka panjang. Program-program kreatif harus dimunculkan agar jargon ‘Kudus
Membangun’ terwujud.
Para pengambil kebijakan perlu juga dibekali dengan wawasan
mengenai pengelolaan DBHCHT yang bermanfaat dalam jangka panjang kepada masyarakat.
Wargalah yang menjadi sasaran utama dana tersebut. Sejenuh apapun, jika tujuan
dan arahnya untuk masyarakat, penggunaan dana tersebut harus dianggarkan
semaksimal mungkin untuk pengembangan sumber daya manusia. Bukankah tantangan zaman
saat ini pada sumber daya manusia? Sumber daya alam yang terbatas bukan lagi
jawaban sebagai sumber perekonomian.
Negara-negara maju telah mendidik warganya agar mampu
mengelola dan menghasilkan pendapatan dari kecerdasan dan kreatifitas.
Pelatihan-pelatihan yang selama ini digelar perlu ditinjau ulang agar fokusnya
pada kemampuan dasar manusia untuk berpikir kreatif terhadap segala hal agar dapat
diubah menjadi uang.
Sudah selaiknya politik pembangunan di Kudus berasaskan
kretek. Kretek sebagai penopang dan pengungkit daya saing daerah serta
masyarakat. Kretek bukan sekadar mesin waktu yang memutar cerita dan gambar
mengenai masa lalu. Kretek, kini telah menjadi pijakan pembangunan bagi masa
depan Kudus yang sejahtera dan berdikari. []
Komentar
Posting Komentar