“Technology is easy, but journalism as well busiess journalism is hard.”
Nielsen, lembaga survei global yang fokus pemasaran dan media meluncurkan riset pada akhir 2017 yang membuat media cetak sedikit bernafas lega. Apa pasal? Pada tahun yang sama, media cetak (koran, majalah, buletin dan tabloid) menjadi obyek polemik setelah muncul tulisan dari Bre Redana yang menohok dan instropektif.
Bre yang purna tugas setelah 35 tahun berprofesi sebagai wartawan di Harian Kompas menyodorkan tesis tentang suramnya masa depan media cetak lewat tulisan berjudul “Inikah Senjakala Kami” pada akhir 2015.
Menurut dia, senjakala media dipicu antara lain beralihnya pengiklan dari media cetak ke televisi dan online serta perkembangan teknologi. Di sisi lain, dia mengutuk perilaku media online yang terburu-buru dan terkadang mengabaikan etika.
Tulisan berada pesimis itu sedikit terobati dengan survei Nielsen yang menyebutkan adanya kenaikan kepercayaan responden kepada media cetak dari 67% naik 4% menjadi 71%. Media cetak dibaca 4,5 juta orang dengan 85% pembaca di antaranya membaca koran.
Meningkatnya kepercayaan ini terkait dengan kualitas media cetak yang dapat menangkal hoaks. Hal itu berdampak pada kepercayaan pengiklan memasarkan produknya melalui media cetak.
Survei itu tak bisa mewakili kondisi media kekinian secara komprehensif. Ia hanya memotret persoalan relasai media dan pemasaran yang variabelnya hanya bisa sedikit dipakai untuk mengobati ‘sakit kepala’ para pengelola media cetak yang menghadapi tantangan dan pekerjaan rumah di era digital.
Di luar hasil survei itu ada realitas lain. Begitu juga dengan anggapan Bre soal media online. Mari simak beberapa data tentang internet yang menjadi ancaman bagi kelangsungan media cetak.
Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2017 menunjukkan penetrasi pengguna internet telah mencapai 54,68% atau 143,26 juta jiwa dari 262 juta jiwa penduduk Indonesia. Naik 10 juta dari 132,7 juta jiwa pada 2016. Selama satu dekade terakhir, pengguna internet di Indonesia meningkat 120 juta jiwa.
Besarnya pengguna internet menjadi infrastruktur utama bagi media online.
Semakin besar penetrasi internet, semakin besar juga potensi pembaca media online. Hal itu juga menunjukkan tingginya potensi perubahan perilaku membaca dari offline berbasis kertas ke online dengan menggunakan telepon pintar, laptop atau PC.
Proses peralihan peradaban membaca berita yang tengah berlangsung itu menjadi kekhawatiran besar bagi Bre. Sembari memandang sebelah mata pada media online, dia tetap mengingatkan di akhir tulisannya kepada para ‘juragan’ agar “nilai-nilai di atas tetap diperlukan manusia”. Juragan yang disebut saya kira mengarah pada pemilik/pengelola media online agar setia kepada nilai-nilai yang dijunjung jurnalisme, sehingga kekhawatirannya mengenai media online yang serampangan tak pernah terjadi.
Tantangan Media Online
Pesan Bre di akhir tulisannya dapat dibaca lebih jauh sebagai alarm bagi jurnalisme. Nilai-nilai yang dimaksud setidaknya terkait dengan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Media online dan cetak sama-sama harus mengamalkan KEJ. Tanpa itu, jurnalisme tak memiliki ruh. Yang ada hanya hoaks, propaganda dan jargon-slogan.
Seorang jurnalis investigasi Febrina Firdaus menulis di sebuah situs online tentang persoalan media cetak di era digital. Dia menyebut di akhir tulisan, “Technology is easy, but journalism is hard.” Perkataannya benar, kini teknologi telah memudahkan orang-orang untuk mendirikan portal berita online, namun menjadikannya bermutu—meminjam gombalan Dilan—“Berat, kamu tidak kuat.”
Saya coba perluas klaimnya menjadi “Technology is easy, but journalism as well busiess journalism is hard.” Di bawah akan diuraikan mengapa ada unsur bisnis di dalamnya.
Dewan Pers mencatat ada ada 47.000 media di Indonesia dengan 44.000 di antaranya adalah media online. Itu belum media online abal-abal yang kontennya berisi hoaks tujuannya memecah belah bangsa.
Dari media online yang berusaha menghadirkan jurnalisme bermutu tak banyak. Menurut Dewan Pers hanya 234 media online yang sesuai UU Pers yang jadi standar minimal yang di dalamnya ada masalah etik.
Saya menyaksikan sendiri bagaimana banyak orang berlomba-lomba mendirikan media online tanpa memikirkan bagaimana konten itu dibuat dan oleh siapa yang membuat serta standar macam apa yang diterapkan terkait berita yang layak. Paling akhir terkait dengan keberlanjutan dari sisi bisnis.
Realitas itu menunjukkan adanya kesadaran literasi yang tinggi di masyarakat. Mereka tidak ingin lagi sebagai penonton atau pembaca saja di era digital. Mereka ingin memproduksi dan menyebarkan luaskan ideologinya yang tak terwakili oleh media-media yang sudah ada. Tanpa persiapan yang matang, keinginan tersebut justru menjadi bumerang. Semacam egoisme digital atau onani digital yang berujung para harakiri digital. Awalnya kepuasan. Akhirnya kebangkrutan.
Indikator ketidakseriusan membikin media online sudah tampak dari sedikitnya media online yang memenuhi kaidah pers. Hal itu menjadi alarm bagi masa depan jurnalisme. Mutu jurnalisme dipertaruhkan. Padahal, media online yang sedikit itu sedang berjuang menjunjung mutu di hadapan pembaca. Sekaligus memutarbalikkan diktum dari Bre tentang media online yang serampangan.
Persoalan jurnalisme tidak berhenti pada sisi medium, tapi juga tentang modal. Untuk membangun media yang memiliki nafas panjang, keberadaan modal menjadi salah satu prasyarat utama.
Sebagai perumpaan bila ingin lari kencang mungkin bisa seorang diri, tapi bila berlari jauh perlu banyak orang. Peran modal menjadi penyambung bagi banyak orang untuk bergabung, sehingga dapat bersama memajukan media dan membangun mutu jurnalisme yang baik.
Awalnya media itu kecil dan memerlukan sedikit orang. Lama-kelamaan perlu personil tambahan untuk memajukan media. Proses tersebut juga memerlukan modal. Pemasukan media paling besar dari iklan. Namun, bagi media baru untuk mencari iklan memerlukan waktu. Dan dari survei Nielsien kita tahu, kue iklan terbesar masih dipegang televisi, cetak dan terakhir baru online.
Klu yang disampaikan Bre ada benarnya. “Nilai-nilai” yang dimaksud itu bisa merujuk pada mutu jurnalisme. Saya melihat media online yang setia pada pengarusutamaan mutu mampu tumbuh dan berkembang. Modal pada akhirnya tidak tunggal dari iklan saja, tapi dari pemodal yang kini getol berinvestasi di bidang digital. Bahkan, saya menjumpai media online yang terang-terangan belum memikirkan untuk mencari iklan. Mereka hidup dari dana pemodal yang bermurah hati menginvestasikan duitnya untuk mutu jurnalisme yang lebih baik.
Pada gilirannya persoalan elementer tersebut baik media cetak maupun online telah selesai. Mereka sama-sama memiliki pekerjaan rumah yakni menjaga mutu jurnalisme dan setia kepada etik.
Yang berbahaya dari senjakala media cetak sebetulnya bukanlah kebangkrutan akibat kalah bersaing dengan media online, tapi hilangnya ruh dan etik. Toh, kita tahu mutu kebanyakan media online tidak menggembirakan, sehingga kepercayaan pembaca kepada media cetak semakin besar. Tapi tetap ada media online yang berjuang menyajikan konten yang mencerdaskan, inspiratif dan setia menjadi wacthdog.
Peralihan medium dalam jurnalisme merupakan keniscayaan di tengah penetrasi internet yang terus tumbuh. Gugurnya media cetak secara berturut-turut sejak 2015 hingga kini membuktikan senjakala. Mulai dari media nasional seperti Jakarta Globe, Sinar Harapan dan Rolling Stone Indonesia. Sampai media lokal di Jateng-DIY seperti Joglosemar dan Bernas.
Keniscayaan senjakala telah diamini oleh pengelola media cetak dengan sigap melalui konvergesi media. Mereka mendirikan juga media online agar tetap hidup dan militan meniti zaman.
Agenda bersama ke depan tak berubah yakni bersetia pada nilai-nilai jurnalisme. Dengan harapan tidak menjadi media partisan. Apalagi sampai mengutamakan kepentingan elit. Terlebih di tahun politik, media rawan dimanfaatkan sebagai juru kampanye. Media selayaknya kembali menengok hati nurani jurnalisme yakni berkhidmah untuk kepentingan publik, kaum termarjinalkan dan wong cilik. Semoga!***
Komentar
Posting Komentar