NYARIS 1.000 jemaah haji menjadi korban dari dua
kecelakaan, craine ambruk dan desak-desakan di Mina. Tahun haji 2015
digambarkan media sebagai tahun terburuk selama 25 terakhir, karena korban
besar kematian jamaah haji.
Mata seluruh umat muslim dunia tertuju pada tragedi
Mina. Analisa-analisa mulai bertebaran terkait pemicu kecelakaan. Segala
peristiwa di Tanah Suci selama proses haji masih diyakini sebagai sesuatu yang
given, dari Tuhan. Manusia tak diberi ruang bernalar. Meninggal di Makkah dan
Madinah adalah berkah. Konon, ada orang haji sampai empat kali dengan niat
ingin meninggal di sana, tetapi gagal. Meninggal dalam menjalankan ibadah
rupanya bagian dari mati syahid yang jaminannya adalah surga. Suatu hal yang
diyakini umat muslim secara luas.
Haji merupakan ibadah kolosal dan berat. Bagai
seorang backpaker yang dengan perlengkapan serba seadanya dan serba terbatas
untuk menyusuri rukun-rukun haji. Bukankah seharusnya menjalani hidup:
sederhana. Bukan karena tak bisa bermewah-mewah, tapi menahan diri memanjakan
diri agar selalu waspada terhadap sifat dunia yang temporer. Seperti pakaian
ihram yang sederhana, seadanya dan terbatas namun cukup.
Para jamaah berjalan kaki dengan pakaian ihram.
Semacam jenis pakaian ready for use. Sengatan sang mentari di atas 40 derajat
celsius membakar kulit, setidaknya bagi orang Indonesia yang hidup dengan suhu
panas paling banter 35-an derajat celsius. Mungkin harus pakai krim penangkal
sengatan panas agar usai haji kulit tak jadi gelap dan mengelupas.
Situs-situs dengan nilai sejarah paling premium
menjadi bagian dari rukun yang wajib dijalani. Ada yang mengatakan haji
hakikatnya adalah meneladani perjalanan hidup Nabi Ibrahim. Mereka berpindah
dari satu tempat ke tempat lain. Dari Kakbah, Padang Arafah ke Jabal Rahmah dan
Mina. Mereka menggunakan pakaian itu-itu saja, karena perintah Tuhan memang
demikian. Tak bisa ditawar. Ikuti atau haji batal. Tuhan Maha Tahu.
Perjalanan ini sungguh melelahkan dan penuh dengan
risiko. Lautan manusia berarak bersamaan. Dua juta orang tumplekblek di Mina.
Kabarnya ada pengaturan jadwal lempar jumrah sesuai negara. Tragedi tak
terhindarkan. Korban jadi statistik yang mengejutkan di saat umat muslim
sedunia merayakan Idul Adha (Lebaran Besar). Apakah mereka k(u)orban
sesungguhnya? Hanya Tuhan yang tahu. Pada titik, surat Alfatihah selaiknya
dihadiahkan kepada para korban.
Tragedi di Mina kabarnya sudah terjadi delapan kali
ini. Tetapi jumlah jamaah haji selalu bertambah. Kecelakaan tidak pernah
menyurutkan jamaah. Sejarah mengabarkan, penyusutan jamaah haji akibat perang
antara kaum Wahabi, Abdel Aziz Ibn Saud dan Syarif Makkah, Husyn bin Ali dengan
Turki Utsmani yang pecah pada awal abad ke-20. Turki saat itu menguasai Tanah
Haromain dan kalah dalam peperangan dengan musuh yang didukung Inggris, seturu
Turki dalam Perang Dunia I. Akibat perang itu, tahun 1915 untuk kali pertama
tidak ada jemaah haji dari Indonesia. (Henry Chambert-Loir, 2013a: 67).
Makna Haji
Haji adalah puncak perjalanan keimanan umat Islam.
Letaknya di akhir rukun Islam. Dalam setahun, seorang muslim telah rampung
menjalani empat rukun. Melafalkan Syadahat, Salat Lima Waktu, Menunaikan Zakat
dan Puasa Ramadan selesai dijalani dalam setahun keislaman. Syahadat diucapkan
saban hari bersamaan dengan Salat. Zakat setahun sekali terutama saat akhir
Ramadan. Tetapi ibadah haji perlu waktu lebih dari setahun, sewindu mungkin
satu dekade. Tuhan menentukan waktu berhaji, tetapi tidak mewajibkan hambaNya
menjalaninya di tahun yang sama dengan empat rukun lainnya. HambaNya didorong
menjadi backpacker dengan memerintahkan 'semampunya' untuk berhaji. Frasa
semampunya ini membentang dari zaman kenabian pada abad ke-6 M sampai abad
ke-21. Sudah 15 abad frasa 'semampunya' ini memiliki cerita. Di Indonesia
perjalanan haji adalah perjalanan luar biasa: nekat. Pada masa awal
transportrasi ke Tanah Arab menggunakan kapal layar perlu waktu berbulan-bulan
mengapung. Pun demikian pada era kapal uap. Era kapal terbang memang lebih
cepat dari sisi waktu, tetapi kemampuan materi dan masa tunggu bukan perkara
sepele. Daftar hari ini, berangkat 20 tahun kemudian.
Frasa semampunya mereduksi penderitaan (yang nikmat)
dalam perjalanan menuju rumah. Baitullah. Rumah Allah. Rumah semua HambaNya.
Mampu berhaji berarti mampu menjinakkan dan mengubah segala derita menjadi
kekuatan. Syaraf penderitaan dimatikan. Perasaan menderita dimatikan hingga ke
level matirasa. Ongkos naih haji dikumpulkan dari jerih payah bertahun-tahun
hingga puluhan tahun. Bagi orang Indonesia, haji adalah perjalanan panjang
sejak dari pengumpulan ongkos, menunggu giliran hingga menghadapi risiko
kematian di tanah suci.
Haji sebagai bahaya meninggal, haji sebagai metafora
kematian, haji sebagai ritus peralihan, ketiga aspek ini termasuk sebab mengapa
keberangkatan calon haji dirayakan oleh teman dan kerabatnya (Chambert-Loir,
2013a: 93).
Pulang
Saya seperti menyaksikan sebuah kesamaan hakikat
haji dengan laku mendaki gunung. Utamanya Mount Everest. Gunung tertinggi di
dunia bukanlah habitat manusia. Burung sekalipun tak mampu menjangkau puncak
Everet dengan ketinggian 8.850 meter di atas permukaan laut. Kadar oksigen di
dalam darah manusia menipis. Kehidupan manusia di habitat burung besi itu
ditopang tabung oksigen.
Para petualang digambarkan secara dramatis dan
tragik dalam
film anyar berjudul Everest (September 2015). Puncak
Everest adalah puncak keimanan, keyakinan dan tujuan hidup mereka. Satu momen
menarik ketika John Krakauer (Michael Kelly), jurnalis majalah Outside,
melontarkan kata 'why' sebagai pisau analisis membedah alasan-alasan para
pendaki. Tak semuanya mengungkapkan alasan yang bersumber dari hati terdalam.
Alasan itu disimpan rapat-rapat. Jawaban berkutat pada formalitas seorang
pendaki gunung belum paripurna jika tak menginjak puncak Everest.
Tetapi toh penonton mendapat suguhan alasan-alasan
sederhana yang menggerakkan mereka merogok kocek $50.000 guna membayar jasa
ekspedisi untuk mendampingi naik-turun dengan selamat.
Mendaki gunung bagi para pendaki seperti perjalanan
ke rumah. Ketika di dalam rumah justru stres melanda, tetapi ketika kaki
melangkah ke gunung-gemunung, stres berganti kesenangan. Kekurangan oksigen,
hilangnya tali-temali di jalan setapak berbatasan dengan jurang (West Shoulder,
7.309 m) dan badai di base camp (South Col, 7.906 m) adalah bentuk-bentuk penderitaan
tak terperi. Tubuh manusia pada dasarnya tak bisa menerima tekanan suhu udara
di atas rata-rata dan kadar oksigen yang tipis.
Kita menonton sebuah tragedi (penderitaan yang
indah) sebelum tragedi yang sebenarnya muncul: badai yang membunuh pendaki.
Film itu memecah kebuntuan pikiran saya mengenai
falsafah hidup yang dianut para pendaki. Saya berpikir buat apa mereka naik
lalu turun kembali. Mereka keluar dari comfrot zone menuju death zone atau
setidaknya tired zone untuk pendaki pemula seperti saya yang cuma sekali
mendaki--itu pun sembilan tahun silam-- Puncak Songolikur di Pegunungan Muria
Kudus setinggi 1.500-an meter. Mereka rupanya menuju rumah impian. Rumah
sementara. Bukankah manusia hidup dunia ini juga sementara. Fana.
Sesunguhnya Pulang
Film berdasarkan kisah nyata tahun 1996 dari buku
Into Thin Air: A Personal Account of the Mt. Everest Disaster karya John
Krakauer.
Jumlah korban dalam film itu tak sebanyak pada
peristiwa di Khumbu Icefall (5.000 m) pada 18 April 2014. National Geographic Indonesia menurunkan laporan November 2014, jumlah korban meninggal 16 pekerja
gunung. Sebanyak 13 di antaranya dari suku Sherpa yang memandu di ketinggian
dan tiga orang dair suku Nepal lainnya. Kecelakaan akibat tertimbun bongkahan
es raksasa menurut NG Indonesia merupakan peristiwa terparah dalam seratus
tahun sejarah pendakian puncak ini.
Di tengah puncak box office film Everest, perhatian
seluruh warga dunia tertuju pada tragedi di Mina, di mana 221 jamaah haji asal
Indonesia hilang. Para jamaah dan para pendaki memiliki hasrat sama untuk
pulang ke rumah impian. Rumah keimanan dan keyakinan dengan imbalan ketenangan.
[]
Komentar
Posting Komentar