Pluviophile

"Hujan. Tidurlah."
"Hujan. Enak buat tidur."

Teks demi teks mengalir deras serupa hujan yang turun ke bumi tanpa kenal waktu. Saking seringnya hujan, bahkan Stasiun Meteorologi pun kuwalahan mengabari netijen jaman now.

"Cuaca ekstrem berpotensi muncul di daerah.. Dan berpotensi sampai ke daerah..."

Teks peringatan dini itu serupa teks WA yang sama-sama mengingatkan hujan turun. Seolah-olah mengamati cuaca dan hanya peduli pada cuaca--bukan dampak atau penyebabnya--kita tenggelam di dalam efek yang tercipta.

Seperti Sapardi Djoko Damono, efek hujan menjelma mantra. Semesta hujan menjadi semesta kita. Dari fenomena publik ke fenomena personal. Lirik puisi Hujan Bulan Juni telah jadi danau bagi para pecinta efek hujan dan tanah basah. Saking membeludaknya penggemar hujan--sekali lagi bukan penyebab dan dampaknya--mantra kata itu jadi trilogi novel dan dimainkan di layar lebar.

Ketika hujan jadi kiamat kecil, saya beringsut dari dalam danau. Nyaris tenggelam. Saya lihat pranata mangsa dan prakiraan cuaca dari Stasiun Klimatologi, Stasiun Meteorologi, dan stasiun kereta api. Benar dugaanku, stasiun-stasiun juga terkenda dampak hujan. Banjir di mana-mana.

Di dalam hujan kali ini tak ada rindu yang dirahasiakan. Rintiknya menusuk tulang dan kantong karung berisi pasir. Jejaknya mengenang di jalan raya dan jalan kampung. Meninggalkan seonggok cerita sendu. Hanya kearifan hujan yang tersisa di dalam benak birokrat agar segera menormalisasi sungai bila tak ingin dikutuk alam.

                                ***

Hujan hampir usai. Ini bukan Juni--di mana 'hujan' dilahirkan. Ini Februari. Juni justru tak ada hujan. Stasiun Klimatologi dan pranata mangsa sudah meramalkan Juni adalah kemarau--tempat di mana senja beranak-pinak juga menjadi mantra.

Seno Gumira Ajidarma dan Joko Pinurbo bungah saat kemarau. Tokoh rekaan Seno dalam cerpen dan novelnya: Alina, Sukab dan Tukang Pos hidup berssama dengan imaji Negeri Senja.
Rumah puisi Jokpin yang dihuni tokoh Ibu, Ayah, Jendela dan Celana hidup dari latar senja. Kemarau menawarkan senja abadi di ufuk barat. Awan hitam telah berarak ke dalam diri Sapardi.

Para penyair itu mencipta dunia dari cuaca tropis. Masing-masing penyair menghadirkan dunia baru bagi kehidupan manusia Indonesia. Di saat hujan, kita tidak melulu ingat bencana. Ada rindu, langkah yang ragu dan kearifannya. Di kala kemarau, kita menyaksikan senja yang telanjang. Langit begitu jingga. Beruntunglah orang yang melihat cuaca sebagai sesuatu yang personal.

Aku teringat ajak dari teman tentang hujan. Dia mengajak untuk hujan-hujanan. Kata dia, "Hujan ini berkah. Harus hujan-hujanan biar berkah." Aku ingin menghiburnya dengan ikut hujan-hujanan seperti saat kanak-kanak dahulu. Riang dan gembira.

Ya, kita adalah pluviophile. Sama-sama memuja dan mengagumi hujan. Namun maaf teman, sebelum melesat di tanah lapang berumput hijau, aku teringat pada sebuah jemuran belum diturunkan dari tali rafia dan cantelannya. Sekali lagi maaf gagal romantis dan melankolis, karena harus realistis. Ah hujan, kamu begitu dramatis. ***

Semarang, 26.2.2018

@zakasaja

Komentar