Toko buku yang mengisi rak-rak bukuku juga rak-rak bukumu mau tutup, dik.
Kita kaum pemamah kertas, meranggas bersama lenyapnya buku-buku murah dan berkualitas. Negara yang gagal menyediakan buku murah, toko buku yang harus menanggung derita. #RIPTogaMasSemarang @TogamasSemarang
Seutas twit saya buat pada 15 Februari 2018 melalui akun @zakasaja dengan maksud yang gamblang: mengenang toko buku. Bukan sekadar toko buku. Togamas telah menahbiskan dirinya sebagai “Toko Buku Diskon”. Semacam slogan. Ia meyakinkan kepada pembeli dan calon pembeli dengan jargon kuat: diskon seumur hidup!
Sejak mengenal Togamas lebih dari satu dasawarsa—saat itu kali pertama beli buku Nusa Jawa-nya Denys Lombard di Togamas Solo—saya jatuh hati dengan program diskonnya. Kali pertama membeli buku mahal dan tebal langsung ditampar dengan diskon. Saya lupa kalau tidak 10%, ya 15%. Diskon itu tergolong reguler. Nikmat sekali!
Jasa toko buku tersebut bagi saya teramat besar. Sekitar 60% buku yang mengisi almari dibeli dari Togamas. Saya pun menjadi member tetap agar saat membeli segala jenis buku memperoleh diskon khusus yang lebih besar dari diskon bawaan toko yang 10% itu.
Dengan kartu sakti yang diperpanjang enam bulan sekali dengan biaya sekitar Rp 25.000, saya memperoleh diskon dua kali lipat untuk semua jenis buku yang saya beli yakni 20%.
Beberapa tahun silam saat baru memulai hidup di Semarang, hampir setiap akhir pekan menyatroni Togamas yang ketika itu berada di tengah kota. Di toko itu, membawa uang Rp 100.000 bisa dapat dua buku anyar. Aktivitas itu terus berlangsung sampai akhirnya menjelang toko itu tutup.
***
Saya mungkin orang yang telat mengenal Togamas. Masih junior lah dibanding abang-none yang sudah melanglang buana blusukan di toko-toko buku. Setidaknya, dalam liputan ini, saya menghadirkan nasib lain dari Togamas: bangkrut!
Togamas Semarang telah menunjukkan tanda-tanda kebangkrutan pada Januari 2018. Dan puncaknya pada 18 Februari 2018, toko itu dinyatakan tutup entah sampai kapan. Pengumuman tutup itu pun diwartakan dari mulut ke mulut. Hingga ada pemberitahuan resmi dari akun Facebook resmi Togamas: Togamas Semarang koit!
“Untuk Togamas Semarang tutup kak, tidak pindah.” Hanya itu satu-satunya penjelasan dan informasi yang tertera dalam unggahan akun resmi pada 20 Februari 2018. Netizen sudah pasti gusar dan bimbang. Rentetan pertanyaan dibiarkan menggantung dan menguap. Nyaris seperti nasib toko itu sendiri yang tak jelas.
Sekalipun itu hanya pengumuman. Tersirat kegusaran juga dari admin Togamas—yang bisa jadi mewakili secara perusahaan—dengan adanya sebuah emotikon sedih pada unggahan pengumuman.
Saya berusaha mencari pihak Togamas yang bisa dimintai komentar terkait penyebab tutupnya toko tak juga ketemu. Tiga hari sebelum tutup, toko buku sudah tak beroperasi. Akses masuk ke toko buku tertutup dengan pagar hitam melintang di depan toko buku megah berlantai dua. Cuitan saya juga tak pernah dibalas sampai sekarang.
Mungkin adminnya juga sudah pamit pulang kampung usai tokonya tutup.
Sayup-sayup saya dengar dari teman penyebab tutup adalah menurunnya pendapatan. Buku-buku yang tersisa dikemas ke dalam kardus dan dikembalikan kepada penerbit. Padahal, beberapa pekan sebelum tutup, di dalam hati saya berharap ada cuci gudang. Bisa dibayangkan, berapa besar diskon toko buku yang diskonnya seumur hidup bila cuci gudang. Saya sudahi harapan itu agar tidak terlarut sedih kehilangan toko buku ramah kaum papa ini.
***
Togamas Semarang dari pengamatan dan pengalaman penulis, berpindah-pindah tempat. Dulu di pusat kota ke wilayah pinggiran. Semula berada di Pleburan lalu di kawasan Mataram atau Jalan MT Haryono dan terakhir berada di kawasan Majapahit atau Jalan Brigjen Sudiarto. Ia sudah ada di Semarang setidaknya pada tahun 2007.
Pola itu seakan menjadi pesan tersirat yang kini tersurat: dari kejayaan ke kebangkrutan. Saat berada di pinggiran, jangkauan pembeli harus menempuh jarak yang jauh—belum lagi ditambah kemacetan. Padahal gelanggang pertarungan ada di tengah kota dekat dengan Simpanglima.
Proximity—meminjam istilah dalam Ilmu Jurnalistik yang menunjukkan kedekatan suatu berita dengan pembaca—diabaikan oleh Togamas Semarang. Dampaknya sudah terjawab sampai saat ini.
Saya tidak kaget dengan manajemen penataan toko. Hampir beberapa bulan sekali ada saja perubahan letak rak buku berdasar kategori. Perubahan itu mungkin terkait dengan evaluasi hasil penjualan, sehingga buku dengan potensi paling laris diletakkan di bagian depan. Pada awalnya membingungkan, namun dengan komputer cukup membantu menemukan buku yang dicari.
Namun, berselancar di toko buku tanpa melihat letaknya dari komputer menerbitkan pengalaman tak terduga. Terselip sebuah kebahagiaan ketika menemukan buku-buku yang sudah lama dicari tiba-tiba ditemukan. Atau sekadar meraba-raba berbagai judul buku sambil membayangkan isinya dan tentu saja menemukan beragam buku-buku baru yang layak dibeli saat itu juga atau harus masuk ke dalam daftar tunggu—sembari menunggu kantong terisi.
Di Semarang bukan tidak ada toko buku. Justru menjamur. Dari kelas loak sampai kelas kakap. Beberapa toko buku loak ada di Pasar Johar—namun pasca kebakaran tahun 2015—tak jelas keberadaannya. Satu lagi di dekat Stadion Diponegoro yang sampai sekarang masih bertahan.
Toko buku bermesin pendingin bisa dibilang tumbuh subur. Jejaring toko buku Gramedia ada di tiga lokasi yakni di Hotel Amaris Jalan Pemuda, Toko Buku Gramedia di Jalan Pandanaran—induknya—dan di Java Mall Jalan MT Haryono. Lokasi terakhir itu sudah tutup beberapa tahun lalu dan sekarang menyisakan dua titik saja.
Sedangkan toko buku Gunung Agung ada di dua pusat perbelanjaan yakni Mall Ciputra atau Citraland di dekat Simpanglima dan Mall Paragon di Jalan Pemuda. Keduanya masih eksis hingga saat ini.
Di luar itu ada beberapa toko buku seperti Pandora—yang sudah tutup. Konon lokasi toko Pandora di Pleburan dulunya adalah tempat Togamas Semarang. Di kawasan kampus Undip Tembalang kabarnya juga pernah ada Togamas.
***
Tutupnya toko buku ini diyakini tidak menggoyahkan iklim literasi. Namun, patut disayangkan tak banyak orang yang berusaha menolak kematiannya. Bahkan untuk sekadar berkabung saja hanya segelintir orang yang selain sebagai pembeli aktif juga bergelut dalam dunia literasi.
Saya memahami bisnis perbukuan memiliki risikonya sendiri dibandingkan bisnis tahu bulat. Investasi di dunia perbukuan tak bisa instan seperti orang jualan tahu yang digoreng tanpa persiapan. Bisnis buku perlu sebuah iklim yang mendukung. Dan ini sudah terbentuk dengan banyaknya perguruan tinggi di Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah. Namun, persaingan antar sesama toko buku, beralihnya pola pembelian dari offline ke online dan menggeliatnya e-book mau tak mau membuat bisnis buku melalui toko harus dihitung ulang.
Komponen biaya tinggi seperti sewa tempat dan menggaji karyawan telah menjadi beban tersendiri dari toko buku diskon ini. Mau tak mau menutup salah satu unit usaha menjadi sebuah pilihan untuk menyelamatkan bisnis besar mereka. Hilang satu, namun masih memiliki toko yang tangguh di kota-kota besar di Jawa menjadikan Togamas tetap hidup dan menghidupi.
Bisnis buku di Kota Lumpia ini memang tengah lesu. Tapi semangat membaca dan menulis jangan kasih kendor. Bisnis buku adalah satu hal dan menulis serta membaca adalah hal lain. Di era yang menawarkan fasilitas bacaan gratif yang melimpah menjadi aneh tatkala gairah literasi justru turun.
Yang bahaya dari tutupnya toko buku diskon bukanlah hilangnya buku dengan harga murah, tapi hilangnya gairah literasi. Ketika gairah itu hilang, maka yang hilang dari kita tak lagi berfungsinya kartu diskon dan buku murah, melainkan api pembebasan. Bukankah membaca dan menulis adalah prasyarat pembebasan manusia dari dalam tempurung kebodohan menuju kecerdasan yang berujung pada kesejahteraan. ***
Komentar
Posting Komentar