MANIPULASI
psikologi dengan tubuh dan otak menjadi senjata ampuh dalam perang dingin
antara Amerika Serikat dengan Rusia.
Jennifer Lawrence (Dominika Egorova) adalah sang pemantik
dan agen ganda dalam film Red Sparrow
(2018). Menguasai psikologi musuh-musuhnya dengan daya tarik dan kekuatan nalar
yang dibangun dari gestur-gimmick, tatapan mata dan tubuh.
Dia tersesat ke dalam belantara perang dingin di saat
balerina ini menari. Kaki kirinya cidera saat pentas, sehingga harus dioperasi
dan selama tiga bulan absen dari panggung balet.
Apa yang menimpanya merupakan 'takdir' yang dibuat oleh
pamannya yang menjabat Wakil Direktur SVR (lembaga intelijen Rusia), Matthias
Schoenaerts (Egorova). Dominika dijebak untuk berhutang budi melalui
bukti-bukti percakapan kekasihnya yang serong dengan balerina penggantinya.
Potensi seorang mata-mata dimiliki Dominika. Dia dimasukkan
ke dalam sekolah agen Sparrow untuk dilatih selama tiga bulan. Instruktur
menilai Domika gagal karena doktrin-doktrin yang diajarkan diabaikan. Moral—sebuah
nurani—masih bersemayam di dalam diri Domika—tak bisa tunduk di hadapan negara
secara penuh.
Sekolah Sparrow menekankan "tubuhmu milik negara"
dan "negara meminta imbalan". Maka menjadi mitos di kalangan
intelijen, agen Sparrow lazim dan biasa menggunakan tubuhnya untuk memperoleh
informasi. Sampai-sampai muncul citra negatif di kalangan sesama agen: mereka
sebenarnya adalah PSK.
Pergulatan batin dalam wacana negara vis a vis tubuh pribadi Dominika selalu mengemuka. Tarik ulur untuk
menjadi Sang Sparrow hadir di sepanjang film. Sampai akhirnya dia menyadari
tidak ada pilihan lain untuk menyelamatkan dirinya kecuali menyerahkan tubuhnya
secara suka rela dan saling percaya kepada lawan mainnya Joel Edgerton
(Nathanel Nash).
Dia menjadi agen ganda untuk menyelamatkan ibunya. Agar
tetap memperoleh perawatan dan punya biaya sewa untuk apartemennya. Sesederhana
itu alasan Dominika menceburkan diri di antara kepentingan dua negara. Di
situlah negara 'kalah' melawan kebebasan hak asasi Dominika untuk menentukan
langkahnya sendiri tanpa campur tangan dan bukan untuk negara, tapi ibunya.
Film ini menghadirkan ending
yang happy. Sang balerina tak
dimatikan sutradara, meski potensi itu berkali-kali menghampiri. Sebuah nasih
baik daripada agen ganda asli di dunia nyata yang dieksekusi mati pada awal
abad ke-20.
***
Alur film ini mengingatkan kisah tentang Margaretha
Geertruida "Grietje" Zelle atau dikenal Mata Hari yang pernah singgah
di Malang, Jawa Timur. Seorang agen ganda dalam Perang Dunia I yang ulang alik
seantero Eropa dan mati di tangan serdadu Prancis pada awal abad ke-20. Dengan
kelihaian tarian dia menjadi terkenal dan dengan mudah bergaul dengan elit
militer dan pejabat tinggi. Dia juga terlibat kontak fisik atau dengan kata
lain menggunakan tubuhnya untuk mencari dan menjual informasi ke Jerman dan
Prancis yang saat itu berlawanan. Persis seperti agen Sparrow dalam film itu
yang menjadi agen ganda bagi Rusia dan Amerika Serikat.
Saya mengenal Mata Hari dari novel Namaku Mata Hari (2010) yang ditulis Remy Sylado. Ada latar
Indonesia (Magelang, Semarang dan Bandung) di dalam cerita Remy. Akhir kisahnya
sedih karena ditembak mati dalam sebuah eksekusi.
Perempuan dalam pusaran intelijen memunculkan tanda tanya
terkait posisinya sebagai korban atau pelaku? Pertanyaan ini bisa dijawab
melalui teori ibuisme yang dilahirkan feminis Indonesia, Julia Suryakusuma.
Menurut dia, negara mengganggap perempuan sebagai angkatan kerja kapitalisme
yang tidak usah dibayar.
Apa maksudnya? Melalui negara yang patriarki lagi maskulin,
hak-hak sipil dan politik perempuan ditundukkan. Negara menguasai tubuh
perempuan untuk dijadikan senjata tempur dalam film di atas.
***
Fenomena itu yang hendak dilawan oleh sekelompok aktivis
perempuan dan juga laki-laki peduli persoalan reproduksi dan berpihak pada
kepentingan perempuan (sekarang ada perkumpulannya yang menyebut diri mereka
Aliansi Laki-Laki Baru) dalam kampanye Women's March di Jakarta pada bulan
Maret ini. Mereka berkampanye pada Sabtu (3/3/2018) untuk menolak diskriminasi
dari negara-bangsa terhadap perempuan.
Poster-poster yang dibawa oleh peserta aksi menggambarkan
represi negara telah sampai ke selangkangan. Maka, muncul poster yang gambarnya
saya peroleh dari akun twitter aktivis perempuan @tunggalp (Tunggal Pawestri) berbunyi "Selangkanganku Bukan
Urusan Negara", "Kamu Lahir dari Vagina. Jangan Resek dan
"SelangkanganKU, selangkanganKU. SelangkanganMU, selangkanganMU". Di
bawah poster tertera hastag #TolakRKUHPNgawur.
Ya, negara melalui Rancangan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) hendak mengontrol hal personal yang merugikan perempuan seperti
pidana perzinahan yakni bagi pasangan belum menikah tapi sudah berhubungan
badan dan perluasan pasal pencabulan yakni pidana bagi pencabulan sesama jenis
dengan tanpa batasan usia—dalam KUHP saat ini pencabulan dikenakan pada anak di
bawah umur.
Selaras dengan gerakan penolakan itu dan pesan tersirat dari
film gadis mata-mata, sudah selayaknya negara memberi ruang bagi perempuan
untuk berkembang dan menentukan dirinya sendiri. Secara batin seperti diungkap
Risa Permanadeli dalam Dadi Wong Wadon:
Representasi Sosial Perempuan Jawa di Era Modern (2015), perempuan
mengontrol kehidupan semesta melalui perannya dalam upacara-upacara di dalam
adat Jawa. Perempuan menentukan mana yang baik dan buruk dalam adat, sehingga
kehidupan tanpa kehadirannya adalah mustahil.
Politik elektoral yang saat ini menyasar suara dari kalangan
Islam dengan isu-isu tentang LGBT dan seks bebas. Maka, tak salah dalam salah
satu poster saat aksi muncul protes agar tubuh perempuan tak jadi dagangan
politik.
Negara perlu kembali menengok satu pesan penting dari
Presiden RI ke-1, Soekarno, terkait perempuan. Bahwa perempuan (mandiri dan
berdaya) adalah tiang negara. Perempuan baik, baiklah negara itu. Perempuan
harus terus diberi ruang dan kesempatan untuk berdaya. Bukan malah menjadi
objek politik. Tanpa itu, negara runtuh! [Zakki
Amali]
Komentar
Posting Komentar