Seorang terduga teroris jaringan Abu Roban yang ditangkap di Batang akan dibawa ke Jakarta dari RS Bhayangkara Semarang pada 2013 silam. Foto: Zakki Amali. |
DALAM sebuah foto, senyum simpul Busyro Muqaddas tersimpul.
Di tengah autopsi terduga teroris Siyono asal Klaten, Busyro yang mengepalai
Bidang Hukum dan HAM PP Muhammadiyah tampak tenang. Wajah teduhnya menunjukkan
kewibawaan seorang mantan komisioner lembaga antirasuah di republik ini.
Di tengah tekanan psikis polisi terhadap Muhammadiyah yang
diasosiasikan "pro teroris", Busro adalah orang yang bertanggungjawab
penuh. Dia sudah kenyang ancaman dan intimidasi saat menangani kasus korupsi.
Urat nadi ketakutan pada ketidakbenaran telah putus. Autopsi tetap digelar di
tengah penolakan warga yang dimotori oleh kepala desa setempat. Hukum pidana
berpihak padanya, karena menghalangi autopsi tergolong melawan hukum.
Busyro bukanlah 'anak kemarin sore' yang bergelut dalam
advokasi kasus-kasus kriminal luar biasa. Komisi Pemberantasan Korupsi memoles
namanya, tapi di sisi lain basis intelektualnya sebagai pembela HAM tertimpa
popularitas sebagai penegak hukum.
Satu buku tebal yang berasal dari disertasinya adalah bukti
intelektual tak terbantahkan dalam kiprahnya mengadvokasi orang-orang yang
dicap sebagai teroris. Hegemoni Rezim
Intelijen: Sisi Gelap Peradilan Komando Jihad (2011) terbitan Pusat HAM
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta menjadi basis intelektualnya dalam
menghadapi penyelidikan ulang atas penyebab kematian Siyono. Dia membongkar
kelompok ekstremis Islam yang disokong intelijen negara. Tujuannya untuk
membenamkan nama Islam menjelang pemililhan perdana Presiden RI secara
demokratis. Di balik itu semua, Soeharto mendulang keuntungan dari kekisruhan
itu. Suara partai Islam jeblok dan sebaliknya, Golkar unggul.
Petualangan intelektual membawa Busyro dalam peristiwa yang
auranya hampir mirip. Penyebab kematian Siyono yang ganjil dan sikap polisi
yang misterius memicunya terjun ke pusaranya. Situasi ini mengingatkan perilaku
busuk intelijen yang diam-diam membangunkan kelompok jihad untuk kepentingan
politik. Keganjilan dan kemisteriusan sikap polisi memicu spekulasi rekayasa
kematiannya. Dugaan penganiayaan mencuat. Namun, selalu ditepis polisi.
Versi polisi, kematian Siyono diawali pertengkaran dengan
seorang anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri. Siyono, sebagaimana
selalu terjadi terhadap seorang teroris, kalah saat berkelahi dengan polisi dan
akhirnya tewas. Muhammadiyah lamat-lamat dituduh pro terhadap gerakan
ekstremisme ketika mulai mengadvokasi kasus Siyono. Ini adalah risiko. Niat dan
sikap netral bisa jadi senjata makan tuan ketika dinilai hanya dari glorifikasi
pemberantasan terorisme.
Muhammadiyah berdiri sebagai ormas yang mendorong
kelestarian tamansari kemajemukan nusantara. Sayap-sayap organisasinya tak
terindikasi dalam gerakan radikal. Sejauh ini tak ada catatan kader-kadernya
terlibat dalam terorisme—berafiliasi saja tidak. Sungguh aneh, mencuat tuduhan
seolah memosisikan Muhammadiyah berada di barisan pendukung gerakan radikal.
Kebencian polisi terhadap terorisme tidak lantas melemparkan label pro gerakan
teroris terhadap Muhammadiyah.
Sebuah Pendekatan
Penegakan hukum hanya satu dari sekian pendekatan memerangi
terorisme. Ujung tombaknya adalah aparat khusus dengan kewenangan dan personil
khusus. Lambang Densus berupa burung hantu sudah memberikan pesan
"ngeri". Orang yang meyakini mitos, keberadaan burung hantu di atap
rumah menandakan kematian tidak lama lagi menghampiri pemilik rumah. Mungkin
bukan itu falsafah burung hantu dalam lambung pasukan antiteror itu. Burung
hantu lebih pada sifat pasukan dan operasi yang senyap, waspada dan tepat
sasaran. Burung hantu yang kelayapan di malam hari ibarat pasukan yang berenang
dalam kegelapan teror. Matanya yang tajam seakan mengawasi merupakan fungsi
intelijen yang tajam menyigi informasi dan teroris di deretan masyarakat yang
permisif dan apatis.
Densus kini menjadi harapan besar masyarakat dalam
pemberantasan terorisme. Di tengah lemahnya pendekatan deradikalisasi, Densus
ibarat pil dosis tinggi yang menghempaskan penyakit dari tubuh republik yang
tua dengan usia memasuki 71 tahun. Dosis tinggi memang meredakan penyakit
dengan cepat, tapi juga memiliki ekses negatif. Sembuh cepat pada gilirannya
membentuk mental ingin selalu cepat adalah jebakan yang membuat terlena. Ingin
cepat jadi sejenis bagian penyakit mental menerabas.
Cepat itu berorientasi pada hasil. Bukan pada proses. Dan
kini kita tahu, kecepatan yang selalu diharapkan itu menimbulkan ekses. Antara
lain kematian Siyono. Anggota Densus ingin cepat-cepat mengungkap. Hanya dikawal
seorang anggota dan Siyono tanpa diborgol. Kecepatan itu berbuah dugaan
pelanggaran etik dengan risiko terberat adalah pemecatan. Kecepatan justru
menimbulkan riak-riak resistensi masyarakat terhadap Densus.
Kasus Siyono kini telah menjadi perhatian serius melebihi
ekses-ekses tindakan Densus sebelumnya. Siyono bukan terduga teroris yang
ditembak mati. Tapi justru disitulah letak perhatian. Dia ditangkap dalam
kondisi sehat, tapi saat pulang hanya namanya. Nyawanya telah direngut dalam
perkelahian menuju lokasi persembunyian senjata di Perambahan. Senjata memang
perangkat vital dalam gerakan terorisme. Tapi keinginan untuk cepat dalam
pengungkapannya justru menjadi amunisi bagi gerakan-gerakan radikal yang
menunggang isu autopsi untuk menyuarakan pelemahan Densus sebagai elemen
penting pemberantasan teroris untuk saat ini.
Proses pendekatan terorisme berjalin kelindan dengan situasi
batin masyarakat. Situasi mental masyarakat terpantul dari dominannya
pendekatan hukum Densus. Terdapat berbagai pendekatan diperlukan untuk meredam
ideologi ini.
Fajar Purwadinata dalam Jaringan
Baru Teroris Solo (2014) memaparkan empat pendekatan sebagai
penanggulangan, yakni penegakan hukum (Densus 88), pencegahan, deradikalisasi
dan disengagement (mengubah perilaku kekerasan menjadi antikekerasan). Keempat
cara ini dalam analisanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Pertama, adanya
tindakan arogan Densus 88. Kedua, tidak ada tindakan tegas aparat terhadap
kemaksiatan. Ketiga, kurangnya kepedulian masyarakat. Keempat, adanya pondok
pesantren dan pengajian-pengajian yang mengajarkan ideologi Islam radikal.
Kelima, tindakan pencegahan terorisme hanya bersifat reaksioner. Keenam, belum
dilaksankannya deradikalisasi secara sistematis. Dan ketujuh, belum
dilaksanakannya disengagement dengan baik.
Bolong-bolong pendekatan itu masih berpeluang diperbaiki.
Titik tekannya pada penguatan perspektif HAM terhadap aparat penegakan hukum.
Ini penting mengingat penegakan hukum masih menjadi ujung tombak di tengah
masyarakat yang serba ingin cepat. [Zakki Amali]
Komentar
Posting Komentar