Siyono dan Momentum Penguatan HAM Densus 88

Seorang terduga teroris jaringan Abu Roban yang ditangkap di Batang akan dibawa ke Jakarta dari RS Bhayangkara Semarang pada 2013 silam. Foto: Zakki Amali.
DALAM sebuah foto, senyum simpul Busyro Muqaddas tersimpul. Di tengah autopsi terduga teroris Siyono asal Klaten, Busyro yang mengepalai Bidang Hukum dan HAM PP Muhammadiyah tampak tenang. Wajah teduhnya menunjukkan kewibawaan seorang mantan komisioner lembaga antirasuah di republik ini.
Di tengah tekanan psikis polisi terhadap Muhammadiyah yang diasosiasikan "pro teroris", Busro adalah orang yang bertanggungjawab penuh. Dia sudah kenyang ancaman dan intimidasi saat menangani kasus korupsi. Urat nadi ketakutan pada ketidakbenaran telah putus. Autopsi tetap digelar di tengah penolakan warga yang dimotori oleh kepala desa setempat. Hukum pidana berpihak padanya, karena menghalangi autopsi tergolong melawan hukum.
Busyro bukanlah 'anak kemarin sore' yang bergelut dalam advokasi kasus-kasus kriminal luar biasa. Komisi Pemberantasan Korupsi memoles namanya, tapi di sisi lain basis intelektualnya sebagai pembela HAM tertimpa popularitas sebagai penegak hukum.
Satu buku tebal yang berasal dari disertasinya adalah bukti intelektual tak terbantahkan dalam kiprahnya mengadvokasi orang-orang yang dicap sebagai teroris. Hegemoni Rezim Intelijen: Sisi Gelap Peradilan Komando Jihad (2011) terbitan Pusat HAM Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta menjadi basis intelektualnya dalam menghadapi penyelidikan ulang atas penyebab kematian Siyono. Dia membongkar kelompok ekstremis Islam yang disokong intelijen negara. Tujuannya untuk membenamkan nama Islam menjelang pemililhan perdana Presiden RI secara demokratis. Di balik itu semua, Soeharto mendulang keuntungan dari kekisruhan itu. Suara partai Islam jeblok dan sebaliknya, Golkar unggul.
Petualangan intelektual membawa Busyro dalam peristiwa yang auranya hampir mirip. Penyebab kematian Siyono yang ganjil dan sikap polisi yang misterius memicunya terjun ke pusaranya. Situasi ini mengingatkan perilaku busuk intelijen yang diam-diam membangunkan kelompok jihad untuk kepentingan politik. Keganjilan dan kemisteriusan sikap polisi memicu spekulasi rekayasa kematiannya. Dugaan penganiayaan mencuat. Namun, selalu ditepis polisi.
Versi polisi, kematian Siyono diawali pertengkaran dengan seorang anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri. Siyono, sebagaimana selalu terjadi terhadap seorang teroris, kalah saat berkelahi dengan polisi dan akhirnya tewas. Muhammadiyah lamat-lamat dituduh pro terhadap gerakan ekstremisme ketika mulai mengadvokasi kasus Siyono. Ini adalah risiko. Niat dan sikap netral bisa jadi senjata makan tuan ketika dinilai hanya dari glorifikasi pemberantasan terorisme.
Muhammadiyah berdiri sebagai ormas yang mendorong kelestarian tamansari kemajemukan nusantara. Sayap-sayap organisasinya tak terindikasi dalam gerakan radikal. Sejauh ini tak ada catatan kader-kadernya terlibat dalam terorisme—berafiliasi saja tidak. Sungguh aneh, mencuat tuduhan seolah memosisikan Muhammadiyah berada di barisan pendukung gerakan radikal. Kebencian polisi terhadap terorisme tidak lantas melemparkan label pro gerakan teroris terhadap Muhammadiyah.
Sebuah Pendekatan
Penegakan hukum hanya satu dari sekian pendekatan memerangi terorisme. Ujung tombaknya adalah aparat khusus dengan kewenangan dan personil khusus. Lambang Densus berupa burung hantu sudah memberikan pesan "ngeri". Orang yang meyakini mitos, keberadaan burung hantu di atap rumah menandakan kematian tidak lama lagi menghampiri pemilik rumah. Mungkin bukan itu falsafah burung hantu dalam lambung pasukan antiteror itu. Burung hantu lebih pada sifat pasukan dan operasi yang senyap, waspada dan tepat sasaran. Burung hantu yang kelayapan di malam hari ibarat pasukan yang berenang dalam kegelapan teror. Matanya yang tajam seakan mengawasi merupakan fungsi intelijen yang tajam menyigi informasi dan teroris di deretan masyarakat yang permisif dan apatis.
Densus kini menjadi harapan besar masyarakat dalam pemberantasan terorisme. Di tengah lemahnya pendekatan deradikalisasi, Densus ibarat pil dosis tinggi yang menghempaskan penyakit dari tubuh republik yang tua dengan usia memasuki 71 tahun. Dosis tinggi memang meredakan penyakit dengan cepat, tapi juga memiliki ekses negatif. Sembuh cepat pada gilirannya membentuk mental ingin selalu cepat adalah jebakan yang membuat terlena. Ingin cepat jadi sejenis bagian penyakit mental menerabas.
Cepat itu berorientasi pada hasil. Bukan pada proses. Dan kini kita tahu, kecepatan yang selalu diharapkan itu menimbulkan ekses. Antara lain kematian Siyono. Anggota Densus ingin cepat-cepat mengungkap. Hanya dikawal seorang anggota dan Siyono tanpa diborgol. Kecepatan itu berbuah dugaan pelanggaran etik dengan risiko terberat adalah pemecatan. Kecepatan justru menimbulkan riak-riak resistensi masyarakat terhadap Densus.
Kasus Siyono kini telah menjadi perhatian serius melebihi ekses-ekses tindakan Densus sebelumnya. Siyono bukan terduga teroris yang ditembak mati. Tapi justru disitulah letak perhatian. Dia ditangkap dalam kondisi sehat, tapi saat pulang hanya namanya. Nyawanya telah direngut dalam perkelahian menuju lokasi persembunyian senjata di Perambahan. Senjata memang perangkat vital dalam gerakan terorisme. Tapi keinginan untuk cepat dalam pengungkapannya justru menjadi amunisi bagi gerakan-gerakan radikal yang menunggang isu autopsi untuk menyuarakan pelemahan Densus sebagai elemen penting pemberantasan teroris untuk saat ini.
Proses pendekatan terorisme berjalin kelindan dengan situasi batin masyarakat. Situasi mental masyarakat terpantul dari dominannya pendekatan hukum Densus. Terdapat berbagai pendekatan diperlukan untuk meredam ideologi ini.
Fajar Purwadinata dalam Jaringan Baru Teroris Solo (2014) memaparkan empat pendekatan sebagai penanggulangan, yakni penegakan hukum (Densus 88), pencegahan, deradikalisasi dan disengagement (mengubah perilaku kekerasan menjadi antikekerasan). Keempat cara ini dalam analisanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Pertama, adanya tindakan arogan Densus 88. Kedua, tidak ada tindakan tegas aparat terhadap kemaksiatan. Ketiga, kurangnya kepedulian masyarakat. Keempat, adanya pondok pesantren dan pengajian-pengajian yang mengajarkan ideologi Islam radikal. Kelima, tindakan pencegahan terorisme hanya bersifat reaksioner. Keenam, belum dilaksankannya deradikalisasi secara sistematis. Dan ketujuh, belum dilaksanakannya disengagement dengan baik.
Bolong-bolong pendekatan itu masih berpeluang diperbaiki. Titik tekannya pada penguatan perspektif HAM terhadap aparat penegakan hukum. Ini penting mengingat penegakan hukum masih menjadi ujung tombak di tengah masyarakat yang serba ingin cepat. [Zakki Amali]

Komentar