Bayang

Sehari 24 jam. Seminggu 72 jam.

SENIN. Kamu bangun dari balik selimut debu. Mengemas harapan ke dalam tas mungilmu yang biasa kau selempangkan di pundakmu. Pundak tempat anak-anak mencantolkan harapan. Tasmu makin berat saja. Aku tak ingin menambah berat, karena 'badan' ini lebih berat.

Bu Greta menggerutu lama menunggumu. Dia sudah cukup bersabar menanti anak semata wayangnya datang untuk berbagi berkah. Begitulah bahasa orang tua. Seolah-olah marah. Padahal sayang tak keruan.

"Tak ada sopir, Bu." Begitu kamu berkilah.

Sejak perempuan ceking yang uban dan asapnya telah mengubah kehidupannya, kamu sering 'main' ke hutan pinus yang jauh dari asap kendaraan. Justru kamu ke sana memburu asap balur yang konon ditemukan Bu Greta saat jalan pagi pada sebuah lembah manah yang dipenuhi peri dan malaikat tak bersayap tapi berasap.

SELASA. Kamu puasa dari ingin beli ini dan ingin beli itu. Ikat pinggang nyaris putus mengencangkan perutmu. Kamu toh tetap melar. Badanmu. Hatimu. Anumu.

Suatu saat kita pernah menebar angan di jalan yang kamu lalui saban minggu. Angin sore itu membalurkan angan ke dalam tanah-tanah gembur di lereng gunung. Suatu saat angan dan angin kita seruput bersama di sawah.

Sekuat angan dan sekencang angin. Asap-asap itu seperti serdadu. Melesat tanpa suara saat rokok usai disulut. Gemeretak tembakau dan cengkih serupa sepatu lars sekompi prajurit yang berlarian ke sana-ke mari mencincang musuh dalam selimut debu.

RABU. Serupa abu, tubuh ini fana. Berhenti di rabu, kamu mungkin akan sirna. Kita mungkin tiada dalam keadaan kalah. Tapi, hidup ini masih abu-abu. Belum sempat menikmati terang.

Aku belajar darimu yang menolak kalah. Bahkan untuk sekadar menyerah, kamu pernah mengatakan untuk jangan pernah. "Kita diciptakan untuk tidak menyerah." Meski kutahu, kamu sering mengalah.

Di setiap perjalanan ada bayang yang menolak diam. Menantimu pulang dan menikmati sisa-sisa asap di bibirmu.

Semarang, 28.2.2018

Ttd

@zakasaja

Komentar