Jejak Langkah Esai-esai DHZ*

PERCOBAAN mengadvokasi kebudayaan Jawa terentang panjang dan berliku seperti soal Jawa itu sendiri yang menurut penulis tak pernah selesai digali. Jawa ibarat sumur artesis yang dibuat kolonial Belanda di Kota Lama—bekas kantor DHZ (kode wartawan dia saat masih sekantor)—yang abadi. Tukang becak sampai mobil pemadam kebakaran mengambil berapapun kubikasinya untuk kemaslahatan bersama tanpa perlu berpikir untuk mengembalikannya.

Begitulah kira-kira soal Jawa dalam esai-esai DHZ yang tertuang dalam buku Tentang Jawa dan Hal-hal Yang Tak Selesai (2017). Sebagai seorang Jawa, dosen Bahasa Jawa yang makan, minum dan kawin di Jawa, DHZ mampu menjaga jarak. Jawa yang dipuja-puji tak ada di dalam bukunya. Jawa sebagai sebuah khotbah terlalu remeh temeh. Jawa bukan sedu sedan itu. Jawa adalah nafas dalam perilaku manusia tanpa pijakan geografi. Baginya siapapun yang bernafas Jawa, dia adalah manusia Jawa.

Dari judul bukunya sudah mencerminkan isi yang tak bakal mendedah seluruh isi perut sumur Jawa. Ia meniti data dan cerita untuk merekonstruksi Jawa melalui pendekatan esai. Dari metode esai, ia coba-coba menghadirkan kajian Jawa yang antimaenstrim.

Percobaan itu terentang dalam 23 esai yang tergolong medium (tidak kurang dari 10.000 karakter plus spasi). Daya tahan (endurance) DHZ ditaksir melebihi esai-esai yang telah ada di buku ini. Dia bisa saja membabar tentang Jawa sampai berlipat ganda. Tapi pilihannya jatuh pada esai tengahan—tidak panjang juga tidak pendek menurut ukuran daya tahan pembaca koran.

Kenapa DHZ memilih nafas tengahan dalam esai untuk debut menara intelektualitasnya? Mungkin hanya Tuhan dan DHZ yang tahu! Dari sisi terminologi esai sendiri tak ada sebuah rumusan yang baku. Esai itu ya coba-coba. Tak bermaksud menjadi sebuah tulisan ilmiah juga tak bertendensi menjadi tulisan fiksi.

Dalam sekujur esainya terbaca sebuah pola yang ajeg. Pola yang umum digunakan para esais. Lead menohok, argumentasi dan data kuat dan ending yang menendang. DHZ tergoda dengan mengawali lead esai dari sebuah pertanyaan. Semacam quo vadis (mau dibawa ke mana). Ini trik DHZ, bila menemukan tema soal Jawa yang membuatnya terbakar dan langsung menggerakkan jemarinya dan secara kinestetik lahirlah esai. Pertanyaan sebagai pintu masuk ke dalam badan esai yang lebih luas dan ending yang mengunci.

Esai yang Njawani
Apa itu Jawa? Jawa di dalam buku ini adalah perilaku atawa dalam bahasa agama dikenal akhlak. Jargon-jargon populer yang dikenal dari Sostrokartono (kakak Kartini) bertebaran di sejumlah esai seperti menang tanpa ngesorke, sugih tanpo bondo dan sekti tanpa aji (hlm. 33, 87, ). Jargon serupa juga muncul seperti menang dadi awu, kalah dadi arang (hlm. 70).

Saking gandrungnya dengan jargon khas Jawa, dia menulis satu esai berjudul Menang Tanpa Merendahkan Lawan (hlm. 83-88). Jargon Jawa dilanggengkan dalam esainya untuk meyakinkan pembaca, khazanah Jawa selalu aktual.

Jargon diciptakan untuk memberikan pedoman bagi tindak tanduk manusia Jawa yang harmonis. Namun, manusia Jawa yang memiliki jargon lain seperti nrima ing pandum dan alon-alon waton kelakon bukan berarti orang yang distigmakan lemah.

Konsep ngalah, ngalih dan ngamuk menjadi bukti manusia Jawa memiliki tahapan dalam merespon situasi dan kondisi yang melingkupinya. Satu-dua kali disakiti mungkin akan ngalah dan ngalih, tapi bisa terus-menerus dizolimi, bisa jadi akan ngamuk (hlm. 73-75).

Sebagai esais, DHZ mau tak mau mengikuti trending topic di masyarakat. Esai-esainya menyuguhkan isu aktual yang terentang dalam beberapa tahun terakhir seperti soal plagiasi Anggito Abimanyu (hlm. 63-69), novel sebagai pengganti skripsi (hlm. 133-139) sampai Kongres Bahasa Jawa (hlm. 125-131). Isu yang kini sebagian besar telah dilupakan masyarakat akibat tsunami informasi, namun berkat kekuatan esainya, pembaca tak perlu mengingat konteksnya. Hanya perlu melihat ending dari tulisannya yang merupakan nilai penting serupa petuah yang disamarkan bagi kebanyakan orang.

Pola esainya adalah Jawa itu sendiri yang baginya manis di depan, tapi pahit di belakang. Kalimat  khas orang Jawa seperti dia tulis (hlm. 87), “..yang Anda sampaikan itu bagus, namun lebih baik jiwa..” dan “..mungkin lebih baik jika demikian..”

Barangkali itu basa-basi untuk menunjukkan ketidaksetujuan dan maksud lain terhadap hal apapun dari lawan bicara. Lebih jauh lagi, basa-basi ujungnya bukan hal yang nirmakna, tetapi mulia, karena mengedepankan kerukunan. Pola komunikasi Jawa itu hanya salah satu contoh yang mengambarkan juga esai-esainya yang manis di awal, namun pahit di belakang.

Pahit beda dengan tidak enak dalam urusan lidah. Pahit di akhir serupa kejujuran yang dibalut ungkapan manis, sehingga hanya orang-orang yang menurut dia waskita dan tanggap ing sasmita yang mampu membaca setiap pasemon dari sikap manusia Jawa.

Sikap DHZ terang benderang pada setiap akhir paragraf. Pola esainya ini menempatkan ending sebagai jawaban dari lead. Pada lead¸kalimatnya menohok, namun di ending penuh pasemon. Ketika DHZ menulis lead bernada quo vadis bahasa Jawa pada ranah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, pada paragraf terakhir dia mengembalikannya kepada khalayak, ”..hendak kubawa ke mana bahasa Jawa?”. (hlm. 105-110).

Dengan demikian, esai-esai DHZ berjejak kuat pada cerita pewayangan, kearifan jargon Jawa, deret hitung, argumentasi yang retoris dan renyah serta kata akhir yang membuai sekaligus menjatuhkan. Makjleb! [Zakki Amali]

*Disampaikan pada bincang buku esai-esai budaya Dhoni Zustiyantoro, di Nir Café & Space, Patemon, Gunungpati, Kota Semarang, Selasa (19/12/2017).

Komentar