mengingat

Betapa sebuah film sains yang dikemas secara drama telah mengaduk-aduk perasaan. Judul film yang dirilis tahun 2017 cukup satu kata, Remember. Namun, isinya tak sesederhana artinya judulnya: mengingat! Betapa mengingat itu sebuah tindakan politis.
Mengingat adalah sebuah praktik yang menyakitkan di tahap awal. Melalui sebuah mesin waktu yang dapat memindai ingatan masa lalu yang tak mungkin bisa diingat dengan detail oleh pemilik ingatan.
Celakanya, orang tak bisa berbohong saat alat serupa headaset itu diletakkan di kepala. Dan, foila, semua yang tersimpan dalam alam ingatan sadar terpindai dalam flashdisk berupa lempeng kaca. Apapun yang terjadi terekam dalam durasi yang diinginkan. Ini alat yang revolusioner apabila benar-benar ada. Tentu tak perlu Komisi Pemberantasan Korupsi dan Mahkamah Agung. Bubarkan saja! Toh, kebohongan terkapar di hadapan mesin waktu.
***
Permainan ingatan dan mesin waktu dalam film-film menjadi alur yang mengasyikkan. Tonton saja Doraemon atau Dr Strange kalau ragu. Sifat fiksi dalam film begitu menggoda gotak-gatukke dan ditabrak-tabrakke dengan wacana yang sifatnya arbiter.
Remember berada dalam medan pertemuan sains dan fiksi yang sublim. Setiap individu dalam film digambarkan dengan tingkat ekspresi yang berbeda. Ada yang kekanak-kanakan dan dewasa. Ada yang reaksioner sampai bijaksana.
Tentu ini menjadi pantulan dari kehidupan yang sebenarnya. Sebagaimana sastra, film fiksi merupakan variannya, menurut Ignas Kleden, lahir dari situasi masyarakat yang merupakan cerminannya. Artinya, apa yang ada di film adalah pantulan dari sebuah struktur sosial di masyarakat tertentu.
Remember ini seolah ingin mengatakan sebuah kalimat yang kira-kira berbunyi, "Memaafkan, tapi tak melupakan." Ya, sebuah sikap menerima sifat khilaf manusia sekaligus menunjukkan kemanusiaan. Menerima sekaligus menegasikan. Ambivalen. Memang begitu kan sifat manusia yang bukan nabi!
Di akhir film--sebuah sikap yang melegakan--mesin waktu itu dilarung ke laut bersama seluruh hasil pemindaian ingatan masa lalu. Orang-orang kembali ke kehidupan normal tanpa dihantui masa lalunya yang mungkin saja dengan mudah diakses oleh orang tanpa hak. Kesalahan yang terjadi di masa lalu di antara pemain telah dimaafkan. Sebuah sikap dewasa dan bijaksana.
Dan laut yang menjadi latar akhir film menguatkan pesan itu. Betapa laut tak pernah memaksa ikan menjadi asin. Betapa laut menerima segala keluh kesah, tragedi, khilaf dan salah. Kepasrahannya bukanlah sebuah kepasifan, tapi keihklasan dan kebijaksanaan.
Dan, betapa mengingat adalah upaya untuk memaafkan dengan atau tanpa melupakan. [zaka]

Semarang, 03122017.



Komentar