Kewarasan dan Kesepian


Ibu kota Jakarta ialah punggungmu/Punggung yang sabar menanggung beban/kerjamu/bangun pagimu/pulang malammu/perjalanan macetmu/pegal-pegalmu/masuk anginmu/ingin ini ingin itumu/kenapa begini kenapa begitumu/aku kudu piyemu/tunjangan kesepianmu/jaminan kewarasanmu...
Penggalan puisi Joko Pinurbo berjudul Punggungmu yang dia tulis tahun 2015 dan dimuat dalam buku kumpulan puisinya, Buku Latihan Tidur (2017), menjadi humor segar soal kehidupan ibu kota negara. Sejujurnya, tergoda sekali mengganti nama ibu kota Jakarta di puisi menjadi ibu kota Semarang. Sebab, kaki-kaki puisinya menjejak segala jenis ibu kota.
Ya, puisi ini mengasyikkan dari sisi diksi yang apa adanya. Diksi yang sehari-hari berdenyut dalam jiwa orang-orang yang bekerja dan hidup di ibu kota. Tempat segala hal dipertaruhkan dan diperebutkan.
Cerita yang klise tentang ibu kota dikemas dengan cerdas dan telengas. Ketika berbicara tentang kesepian manusia-manusia urban dengan tradisi nomaden dan ancaman ketercerabutan dari akar tradisi, dia sebut kalimat yang terdiri dari dua suku kata: tunjangan kesepian.
Kesepian rupanya jadi bahaya laten. Semacam penyakit kronis manusia ibu kota. Kesepian hendak dilawan dengan riuh rendah ibu kota. Dengan pembangunan-pembangunan yang ada di ibu kota, kesepian diobati. Kesepian rupanya memerlukan sebuah pengayoman dari sebuah otoritas bernama ibu kota. Jadi, berapa besar nominal tunjangan kesepian? Mbuhlah!
Yang jelas Jokpin mengajak untuk tetap waras sesuai dilanda kesepian yang menurut Chairil si Binatang Jalang Yang Terbuang, justru diteriaki dengan kata 'mampus', "Mampus kau dikoyak-koyak sepi".
Tentang kewarasan ini Jokpin mewanti-wanti betul. Nada puisi-puisi lainnya di buku fiksi teranyarnya mengajak agar tetap waras. Misalnya puisi Pemeluk Agama. Terdapat dialog tentang manusia dan Tuhan. Manusia mengaku menjadi pemeluk teguh Tuhan. Dan Jokpin memelesetkan teguh sebagai tukang bakso lebih pandai memelukNya.
"..Tapi Aku lihat kamu gak pernah memeluk. Kamu malah menghina, membakar, merusak, menjual agama..Tuhan memelukku dan berkata,"Pergilah dan wartakanlah pelukanKu. Agama sedang kedinginan dan kesepian. Dia merindukan pelukanmu.."
Kewarasan versi Jokpin berkutat mengenai perdamaian, toleransi dan dialog agama dengan pemeluknya dan agama dengan agama. Rupanya, kewarasan beragamanya terinspirasi dari Gus Dur. Secara khusus Jokpin membuat monumen puisi untuk Pahlawan Kemanusiaan itu melalui judul Sebuah Cerita untuk Gus Dur. Kalimat terakhir puisi itu cukup mewakili tiga larik puisi itu. "Tuhan saja tidak pernah bertanya apa agamaku," tulis Jokpin yang secara tegas menyelipkan nilai kemanusiaan yang luhur.
Kesepian dan kewarasan bergantian muncul di buku puisi yang sampulnya berwarna hitam gelap pekat ini. Soal sepi memang telah menjadi tema-tema sentral puisi sejak Hamzah Fansuri yang memaknainya secara sufistik dengan pencarian jati dirinya melalui jalan sepi-sunyi sampai Chairil dengan umpatannya kepada seseorang yang kesepian.
Sementara kewarasan yang dihembuskan di sekujur buku adalah upaya menjaga akal dan naluri tetap sehat dan bahagia dalam segala lini. Resep dia menjaga kewarasan terdapat dalam penggalan puisi dia di lain buku, "Kurang atau lebih setiap rejeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi."
Jadi, selamat ngopi Lur! Agar tetap waras dan tunjangan kesepianmu segera cair! [zaka]
semarang, 04122017

Komentar