SEBUAH pernyataan yang cukup menarik disampaikan Ketua DPRD Kota Semarang, Supriyadi dalam peringatan Hari Petani Tembakau Internasional yang digelar di halaman Balaikota Semarang, Jalan Pemuda, Kota Semarang, Rabu (7/12/2017).
Dia menyitir Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 3 Tahun 2013 tentang Kawasan Tanpa Rokok yang salah satunya isinya adalah larangan merokok di kantor-kantor instansi pemerintah. Di lain sisi, dia tengah memberi sambutan dalam hajatan nasional petani tembakau. Satu tempat, dua kepentingan.
“Perda KTR memang melarang merokok di perkantoran, sekolahan dan fasilitas pelayanan kesehatan. Tapi larangan itu sebaiknya juga diimbangi dengan ruang merokok yang representatif. Boleh merokok asal pada tempatnya.”
Statemen ini cukup memberikan warna dalam alur diskusi antara petani tembakau dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Yogyakarta dengan Emha Ainun Najib (Cak Nun) yang menjadi narasumber utama. Mereka menanggapi statemen tersebut dengan sebuah pernyataan, “Negara mau uangnya, tapi tidak mau persoalannya,” kata Budi Doyo, salah seorang petani.
Perolehan cukai dari industri hasil tembakau memang besar. Angkanya mencapai Rp 140 triliun setahun. Petani mengklaim, perolehan pajak dari PT Freeport yang menambang emas di Papua, tak bisa memberikan kontribusi ke negara sebagaimana diberikan tembakau.
Di satu sisi, merokok dilarang di balaikota yang merupakan kawasan perkantoran pemerintah, tapi di sisi lain digelar acara yang menyoal larangan itu. Acara itu bukan sebuah upaya mengajak orang untuk merokok, melainkan meluruskan logika soal larangan merokok dan tentu saja mengajak masyarakat memihak petani tembakau bila muncul isu antirokok.
Sebuah Objektifitas
Menenggok penerapan kebijakan antirokok, Kota Semarang telah memiliki payung hukum sejak tahun 2009 berupa Peraturan Wali Kota Semarang Nomor 12 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Rokok. Konsideran perwal yang diteken Soemarmo adalah Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan.
Peraturan itu gugur dan lebih kuat muatan antirokok dengan diterbitkannya Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada Pasal 115 ayat (2) mewajibkan kepada Pemerintah Daerah untuk menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya. Aturan ini baru diimplementasikan Pemkot Semarang pada tahun 2013 melalui Perda KTR yang diteken Hendrar Prihadi.
Saking seriusnya Kota Semarang menjalankan kewajiban antirokok selama empat tahun setelah Perda KTR diterbitkan, Kementrian Kesehatan mengganjar penghargaan Pastika Parama yang diterima Wakil Wali Kota Semarang, Hevearita G Rahayu pada Rabu (12/7/2017).
Tengoklah kantor-kantor milik pemerintahan di kompleks Balaikota Semarang, bertebaran papan bertulis larangan merokok. Sebuah bukti keseriusan yang sayangnya, menurut Ketua DPRD Kota Semarang, belum diimbangi dengan ruang merokok yang representatif.
Namun, watak mulia dari pemerintahan tampak pada Rabu malam itu, dengan kehadiran para petani tembakau dan Cak Nun yang lebur dalam Merti Tembakau. Pemerintah berada dalam posisi yang adil. Memberikan ruang yang sama bagi gerakan antitembakau dan protembakau.
Sebuah hal yang langka di negeri ini, terkait sikap institusi negara dalam menyikapi isu tembakau. Terlebih kehadiran Sekda Kota Semarang, Adi Trihananto yang memberi sekapur sirih membuka acara, menandaskan soal rokok ini harus dipandang secara objektif oleh pemerintah.
Dekonstruksi Ala Cak Nun
Bagaimana agar isu tembakau dipandang secara objektif? Cak Nun memulai uraian dari hal-hal yang telah didengar masyarakat terkait persoalan rokok dari sisi kesehatan. Menurut dia, yang membuat orang sakit bukankah benda (rokok), melainkan cara memasukkan benda ke dalam tubuh.
“Berapa banyak asap kendaraan yang dihasilkan dibandingkan dengan asap rokok? Bagaimana jika minum kopi tiga ember sekali tenggak? Yang bikin orang modar, itu bukan rokok tapi cara dia menggunakan benda.”
Pertanyaan dan pernyataan silih berganti menggema di malam hari yang diliputi mendung. Ribuan jamaah Maiyah—sebutan peserta pengajian Kiai Kanjeng pimpinan Cak Nun—dari berbagai daerah tumpah ruah memenuhi halaman balaikota.
“Perlu sebuah riset yang objektif dari kalangan dokter terkait rokok. Apakah pernyataan yang selama ini disampaikan soal rokok yang membunuh itu benar adanya atau tidak. Sebetulnya posisi rokok di mana dalam kesehatan?”
Dari satu dekonstruksi pemahaman umum, Cak Nun bergeser ke pendekatan Ushul Fiqih—perangkat ilmu untuk menentukan hukum Islam—dengan menyodorkan konsep illat (alasan). Alhukmu yaduru ma'al illati Wujudan wa 'adaman (hukum itu berputar pada ada tidaknya illat). Dalam soal rokok, Cak Nun melihat perlunya sebuah illat yang objektif dari sisi kesehatan. Dia ragu dengan slogan “Merokok Membunuhmu”.
“Apakah rokok merusak kesehatan manusia? Bukankah kondisi setiap orang itu berbeda, sehingga tidak bisa disamakan begitu saja. Saya sendiri punya manajemen soal kesehatan dengan spirit puasa. Mana yang harus masuk dan ditahan agar tidak masuk ke dalam diri.”
Soal illat inilah yang membuat hukum Islam terkait rokok menjadi khilafiyah (beda pendapat) antara ulama satu dengan lainnya. Namun dapat dipetakan hasil pandangan dari kalangan Nahdlatul Ulama lebih condong ke mubah (boleh) dan ormas Muhammadiyah menghukumi rokok haram. Kita tahu belakangan, Muhammadiyah memperoleh sokongan dana Rp 3,6 miliar dari organisasi antirokok Bloomberg untuk program antirokok. Namun otoritas Muhammadiyah membantah fatwa tersebut lahir dari sokongan dana itu.
Untuk itulah, Cak Nun dengan gamblang menyebut adanya suatu konspirasi dari lembaga-lembaga internasional—tanpa mau menyebut namanya—untuk membunuh rokok kretek yang berbahan tembakau dan cengkeh. “Kampanye pelarangan rokok ini terkait soal dagang dan kepentingan institusi bisnis.”
Kepentingan dagang ini diungkap dengan telanjang oleh Wanda Hamilton dalam buku Nicotine War: Perang Nikotin dan Para Pedagang Obat (2009). Terdapat kepentingan besar untuk menggeser rokok dengan produk subtitusi berupa permen yang di dalamnya terdapat nikotin. Ketika rokok yang memiliki kandungan nikotin terdesak, kampanye kesehatan dimunculkan dengan menawarkan solusi alternatif untuk menghentikan perokok dengan terapi permen. Skema penghentian merokok dengan model ini sudah familiar saat ini, tapi belum banyak yang menjajal.
Begitulah Cak Nun mendekonstruksi sebuah pemahaman umum masyarakat terkait rokok yang kadung kaprah dipahami. Cak Nun membawa jamaahnya untuk melihat illat dalam isu rokok. Bila melihat kebendaan (rokok), maka perbandingannya adalah kopi. Intinya adalah konsumsi makanan atau minuman apapun yang berlebihan menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan, sehingga tidak bisa ditimpakan kesalahan kepada rokok yang pada gilirannya menimbulkan kebencian pada benda.
Di Mana Posisi Media?
Merti Tembakau yang menghadirkan para petani tembakau dan Cak Nun ini digelar oleh Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Pusat dengan Serikat Pekerja Lintas Media (SPLM) Jawa Tengah. Sebelum perhelatan Merti Tembakau sebagai puncak peringatan World Tobacco Growers Day yang diperingati setiap 29 Oktober, telah ada kegiatan pameran kartun tembakau yang diikuti 35 negara, deklarasi Lembaga Konsumen Rokok Indonesia (LKRI), diskusi soal tembakau, kunjungan lapangan ke pabrik rokok di Kendal serta lomba jurnalistik tulis dan foto bertema “Selamatkan Tembakau Nusantara”.
Keterlibatan SPLM secara aktif ini pada posisi yang boleh dibilang protembakau. SPLM sendiri merupakan sebuah perkumpulan pekerja media dari berbagai perusahaan media massa yang bertugas di Jawa Tengah. Mereka tidak mewakili media dari tempat masing-masing dan juga tidak mewakili organisasi profesi seperti PWI atau AJI.
Boleh dibilang, SPLM ini organisasi berbau media yang terang benderang memihak tembakau yang di dalam rangkaian kegiatannya mengangkat isu-isu petani tembakau yang diabaikan negara, regulasi tembakau yang mencekik perusahaan rokok dan meluruskan pemahaman masyarakat tak objektif terkait rokok.
SPLM lahir dari kesadaran berserikat jurnalis yang rendah. Ini boleh dikata, satu-satunya wadah serikat jurnalis lintas media pertama di Jawa Tengah. Ia dideklarasikan pada Minggu Pahing, 26 Februari 2017, di Hotel Siliwangi, Kota Semarang. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang membidani kelahirannya melalui sebuah workshop.
Belum genap setahun, SPLM tanpa tedeng alin-aling ‘mendeklarasikan diri’ berdiri bersama para petani tembakau merancang serangkaian peringatan Hari Petani Tembakau Se-Dunia.
Kultur pesisiran yang egaliter dan blak-blakan barangkali melatari sikap yang terus terang SPLM membela petani tembakau. Sikap ini tentu berbeda dengan posisi organisasi profesi seperti AJI yang pada kepengurusan daerah membuat program antitembakau. Juga ada AJI di daerah lainnya yang meluncurkan program beasiswa liputan dengan mengarusutamakan reportase kretek dari sisi budaya.
Pada sisi lain, telah terpolarisasi media massa (koran dan majalah) yang getol mengangkat isu antirokok. Namun, belum muncul sebuah media massa yang intensitas pemberitannya menonjol pada pembelaan terhadap petani tembakau.
Pada media yang belum menentukan sikap dengan agenda seting yang kuat, muncul kesan adanya kehati-hatian dari media untuk memberitakan isu rokok atau tembakau. Pada isu rokok, secara nyata sikap media terbelah antara yang pro dan yang kontra. Perbedaan ini mungkin saja didasarkan pada illat yang diyakini oleh masing-masing media.
Di posisi manapun media berdiri pada isu tembakau, sebaiknya informasi yang disajikan hendaknya sesuai dengan kode etik jurnalistik (KEJ). Unsur cover both side atau bahkan all side harus betul-betul dijalankan, sehingga muncul sebuah objektifitas informasi yang pada gilirannya membuat masyarakat cerdas dan mampu mengambil keputusan berdasarkan informasi yang akurat dan benar. [Zakki Amali, pekerja media dan anggota SPLM Jawa Tengah].
Dia menyitir Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 3 Tahun 2013 tentang Kawasan Tanpa Rokok yang salah satunya isinya adalah larangan merokok di kantor-kantor instansi pemerintah. Di lain sisi, dia tengah memberi sambutan dalam hajatan nasional petani tembakau. Satu tempat, dua kepentingan.
“Perda KTR memang melarang merokok di perkantoran, sekolahan dan fasilitas pelayanan kesehatan. Tapi larangan itu sebaiknya juga diimbangi dengan ruang merokok yang representatif. Boleh merokok asal pada tempatnya.”
Statemen ini cukup memberikan warna dalam alur diskusi antara petani tembakau dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Yogyakarta dengan Emha Ainun Najib (Cak Nun) yang menjadi narasumber utama. Mereka menanggapi statemen tersebut dengan sebuah pernyataan, “Negara mau uangnya, tapi tidak mau persoalannya,” kata Budi Doyo, salah seorang petani.
Perolehan cukai dari industri hasil tembakau memang besar. Angkanya mencapai Rp 140 triliun setahun. Petani mengklaim, perolehan pajak dari PT Freeport yang menambang emas di Papua, tak bisa memberikan kontribusi ke negara sebagaimana diberikan tembakau.
Di satu sisi, merokok dilarang di balaikota yang merupakan kawasan perkantoran pemerintah, tapi di sisi lain digelar acara yang menyoal larangan itu. Acara itu bukan sebuah upaya mengajak orang untuk merokok, melainkan meluruskan logika soal larangan merokok dan tentu saja mengajak masyarakat memihak petani tembakau bila muncul isu antirokok.
Sebuah Objektifitas
Menenggok penerapan kebijakan antirokok, Kota Semarang telah memiliki payung hukum sejak tahun 2009 berupa Peraturan Wali Kota Semarang Nomor 12 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Rokok. Konsideran perwal yang diteken Soemarmo adalah Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan.
Peraturan itu gugur dan lebih kuat muatan antirokok dengan diterbitkannya Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada Pasal 115 ayat (2) mewajibkan kepada Pemerintah Daerah untuk menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya. Aturan ini baru diimplementasikan Pemkot Semarang pada tahun 2013 melalui Perda KTR yang diteken Hendrar Prihadi.
Saking seriusnya Kota Semarang menjalankan kewajiban antirokok selama empat tahun setelah Perda KTR diterbitkan, Kementrian Kesehatan mengganjar penghargaan Pastika Parama yang diterima Wakil Wali Kota Semarang, Hevearita G Rahayu pada Rabu (12/7/2017).
Tengoklah kantor-kantor milik pemerintahan di kompleks Balaikota Semarang, bertebaran papan bertulis larangan merokok. Sebuah bukti keseriusan yang sayangnya, menurut Ketua DPRD Kota Semarang, belum diimbangi dengan ruang merokok yang representatif.
Namun, watak mulia dari pemerintahan tampak pada Rabu malam itu, dengan kehadiran para petani tembakau dan Cak Nun yang lebur dalam Merti Tembakau. Pemerintah berada dalam posisi yang adil. Memberikan ruang yang sama bagi gerakan antitembakau dan protembakau.
Sebuah hal yang langka di negeri ini, terkait sikap institusi negara dalam menyikapi isu tembakau. Terlebih kehadiran Sekda Kota Semarang, Adi Trihananto yang memberi sekapur sirih membuka acara, menandaskan soal rokok ini harus dipandang secara objektif oleh pemerintah.
Dekonstruksi Ala Cak Nun
Bagaimana agar isu tembakau dipandang secara objektif? Cak Nun memulai uraian dari hal-hal yang telah didengar masyarakat terkait persoalan rokok dari sisi kesehatan. Menurut dia, yang membuat orang sakit bukankah benda (rokok), melainkan cara memasukkan benda ke dalam tubuh.
“Berapa banyak asap kendaraan yang dihasilkan dibandingkan dengan asap rokok? Bagaimana jika minum kopi tiga ember sekali tenggak? Yang bikin orang modar, itu bukan rokok tapi cara dia menggunakan benda.”
Pertanyaan dan pernyataan silih berganti menggema di malam hari yang diliputi mendung. Ribuan jamaah Maiyah—sebutan peserta pengajian Kiai Kanjeng pimpinan Cak Nun—dari berbagai daerah tumpah ruah memenuhi halaman balaikota.
“Perlu sebuah riset yang objektif dari kalangan dokter terkait rokok. Apakah pernyataan yang selama ini disampaikan soal rokok yang membunuh itu benar adanya atau tidak. Sebetulnya posisi rokok di mana dalam kesehatan?”
Dari satu dekonstruksi pemahaman umum, Cak Nun bergeser ke pendekatan Ushul Fiqih—perangkat ilmu untuk menentukan hukum Islam—dengan menyodorkan konsep illat (alasan). Alhukmu yaduru ma'al illati Wujudan wa 'adaman (hukum itu berputar pada ada tidaknya illat). Dalam soal rokok, Cak Nun melihat perlunya sebuah illat yang objektif dari sisi kesehatan. Dia ragu dengan slogan “Merokok Membunuhmu”.
“Apakah rokok merusak kesehatan manusia? Bukankah kondisi setiap orang itu berbeda, sehingga tidak bisa disamakan begitu saja. Saya sendiri punya manajemen soal kesehatan dengan spirit puasa. Mana yang harus masuk dan ditahan agar tidak masuk ke dalam diri.”
Soal illat inilah yang membuat hukum Islam terkait rokok menjadi khilafiyah (beda pendapat) antara ulama satu dengan lainnya. Namun dapat dipetakan hasil pandangan dari kalangan Nahdlatul Ulama lebih condong ke mubah (boleh) dan ormas Muhammadiyah menghukumi rokok haram. Kita tahu belakangan, Muhammadiyah memperoleh sokongan dana Rp 3,6 miliar dari organisasi antirokok Bloomberg untuk program antirokok. Namun otoritas Muhammadiyah membantah fatwa tersebut lahir dari sokongan dana itu.
Untuk itulah, Cak Nun dengan gamblang menyebut adanya suatu konspirasi dari lembaga-lembaga internasional—tanpa mau menyebut namanya—untuk membunuh rokok kretek yang berbahan tembakau dan cengkeh. “Kampanye pelarangan rokok ini terkait soal dagang dan kepentingan institusi bisnis.”
Kepentingan dagang ini diungkap dengan telanjang oleh Wanda Hamilton dalam buku Nicotine War: Perang Nikotin dan Para Pedagang Obat (2009). Terdapat kepentingan besar untuk menggeser rokok dengan produk subtitusi berupa permen yang di dalamnya terdapat nikotin. Ketika rokok yang memiliki kandungan nikotin terdesak, kampanye kesehatan dimunculkan dengan menawarkan solusi alternatif untuk menghentikan perokok dengan terapi permen. Skema penghentian merokok dengan model ini sudah familiar saat ini, tapi belum banyak yang menjajal.
Begitulah Cak Nun mendekonstruksi sebuah pemahaman umum masyarakat terkait rokok yang kadung kaprah dipahami. Cak Nun membawa jamaahnya untuk melihat illat dalam isu rokok. Bila melihat kebendaan (rokok), maka perbandingannya adalah kopi. Intinya adalah konsumsi makanan atau minuman apapun yang berlebihan menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan, sehingga tidak bisa ditimpakan kesalahan kepada rokok yang pada gilirannya menimbulkan kebencian pada benda.
Di Mana Posisi Media?
Merti Tembakau yang menghadirkan para petani tembakau dan Cak Nun ini digelar oleh Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Pusat dengan Serikat Pekerja Lintas Media (SPLM) Jawa Tengah. Sebelum perhelatan Merti Tembakau sebagai puncak peringatan World Tobacco Growers Day yang diperingati setiap 29 Oktober, telah ada kegiatan pameran kartun tembakau yang diikuti 35 negara, deklarasi Lembaga Konsumen Rokok Indonesia (LKRI), diskusi soal tembakau, kunjungan lapangan ke pabrik rokok di Kendal serta lomba jurnalistik tulis dan foto bertema “Selamatkan Tembakau Nusantara”.
Keterlibatan SPLM secara aktif ini pada posisi yang boleh dibilang protembakau. SPLM sendiri merupakan sebuah perkumpulan pekerja media dari berbagai perusahaan media massa yang bertugas di Jawa Tengah. Mereka tidak mewakili media dari tempat masing-masing dan juga tidak mewakili organisasi profesi seperti PWI atau AJI.
Boleh dibilang, SPLM ini organisasi berbau media yang terang benderang memihak tembakau yang di dalam rangkaian kegiatannya mengangkat isu-isu petani tembakau yang diabaikan negara, regulasi tembakau yang mencekik perusahaan rokok dan meluruskan pemahaman masyarakat tak objektif terkait rokok.
SPLM lahir dari kesadaran berserikat jurnalis yang rendah. Ini boleh dikata, satu-satunya wadah serikat jurnalis lintas media pertama di Jawa Tengah. Ia dideklarasikan pada Minggu Pahing, 26 Februari 2017, di Hotel Siliwangi, Kota Semarang. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang membidani kelahirannya melalui sebuah workshop.
Belum genap setahun, SPLM tanpa tedeng alin-aling ‘mendeklarasikan diri’ berdiri bersama para petani tembakau merancang serangkaian peringatan Hari Petani Tembakau Se-Dunia.
Kultur pesisiran yang egaliter dan blak-blakan barangkali melatari sikap yang terus terang SPLM membela petani tembakau. Sikap ini tentu berbeda dengan posisi organisasi profesi seperti AJI yang pada kepengurusan daerah membuat program antitembakau. Juga ada AJI di daerah lainnya yang meluncurkan program beasiswa liputan dengan mengarusutamakan reportase kretek dari sisi budaya.
Pada sisi lain, telah terpolarisasi media massa (koran dan majalah) yang getol mengangkat isu antirokok. Namun, belum muncul sebuah media massa yang intensitas pemberitannya menonjol pada pembelaan terhadap petani tembakau.
Pada media yang belum menentukan sikap dengan agenda seting yang kuat, muncul kesan adanya kehati-hatian dari media untuk memberitakan isu rokok atau tembakau. Pada isu rokok, secara nyata sikap media terbelah antara yang pro dan yang kontra. Perbedaan ini mungkin saja didasarkan pada illat yang diyakini oleh masing-masing media.
Di posisi manapun media berdiri pada isu tembakau, sebaiknya informasi yang disajikan hendaknya sesuai dengan kode etik jurnalistik (KEJ). Unsur cover both side atau bahkan all side harus betul-betul dijalankan, sehingga muncul sebuah objektifitas informasi yang pada gilirannya membuat masyarakat cerdas dan mampu mengambil keputusan berdasarkan informasi yang akurat dan benar. [Zakki Amali, pekerja media dan anggota SPLM Jawa Tengah].
Komentar
Posting Komentar