SEJARAH
kretek
modern diselimuti kabut selama berpuluh-puluh tahun. Djamhari (1870-1962) sebagai
sosok kunci berada di dunianya yang senyap. Berpuluh-puluh tahun, upaya
melacaknya buntu. Tak ada petunjuk penting. Djamhari nyaris menjadi dongeng
dalam sejarah.
Syukurlah, kerja intelektual penulis buku ini membantah
anggapan sosok Djamhari hanya sebagai tokoh fiksi. Penemuan besar dari buku ini
mampu meyakinkan dunia intelektual, Djamhari benar-benar ada dan mengada.
Mula-mula, Djamhari kali pertama disebut dalam catatan
modern tentang industri kretek hanya beberapa kalimat
dalam laporan B. van Reijden pada tahun 1929 (hlm. 234). Penelitian Reijden untuk pemerintah kolonial dikutip dalam buku-buku tentang kretek hingga hari ini.
dalam laporan B. van Reijden pada tahun 1929 (hlm. 234). Penelitian Reijden untuk pemerintah kolonial dikutip dalam buku-buku tentang kretek hingga hari ini.
Reijden dalam penelitiannya, menyebut kata ‘zou’ atau
‘konon’ ketika menentukan titi mangsa kelahiran industri kretek pada 1870-1880,
karena Djamhari diperkirakan meninggal pada 1890. Berselang 87 tahun kemudian,
keraguan Reijden terjawab. Pada tahun itu justru diperkirakan sebagai kelahiran
Djamhari (hlm. 235-237).
Dia barangkali bukan orang pertama yang mencampur tembakau
dengan cengkeh dalam balutan kertas lalu dibakar dan menimbulkan bunyik
“kemeretek”—penamaan kretek ini
menirukan bunyi dari sumber yang digambarkan (onomatope). Namun, konteks
kehidupan menandai sebuah era baru industrialisasi rokok kretek.
Tiga
Daerah
Penulis dan peneliti melacak jejak Djamhari pada tiga
daerah, yakni Jawa Tengah (Kudus), Jawa Timur (Kertosono, Nganjuk) dan Jawa
Barat (Singaparna dan Tasikmalaya). Dia menyusun puzzle sejarah dari satu
kepingan informasi lisan ke tulis. Dari wawancara narasumber di Kudus sampai
penelusuran dokumen di Den Haag, Belanda. Pada satu titik jenuh, metode
supranatural dijajal.
Di daerah kelahirannya, Langgardalem, Kudus, namanya harum.
Tapi orang yang pernah bertemu diduga sudah tiada. Informasi paling berarti berasal dari generasi
setelah Djamhari. Richanah, anak dari kerabat Djamhari di Kudus yang memasuki
usia senja membisiki tim peneliti untuk menemui Ahmad di Tasikmalaya. Dari
sini, sosok Djamhari terang benderang.
Djamhari hidup di kala rokok hanya menggunakan tembakau.
Sebutannya menyesuaikan pembungkusnya. Rokok kawung (dibungkus daun aren),
rokok klobot (dibungkus kulit jagung) dan rokok sigaret (dibungkus kertas).
Pertemuannya dengan cengkeh diawali dari rasa sakit di dada yang diduga asma.
Dadanya diolesi minyak cengkeh. Terasa hangat di dada dan mampu mengusir asma.
Dia ‘iseng’ merajang cengkeh lalu dicampur tembakau.
Kreatifitas itu berdampak terhadap perkembangan pasar rokok.
Orang-orang mulai menyukai rokok kretek dibanding rokok lainnya. Geliat
industrial di daerahnya ditandai dengan munculnya usaha rumahan rokok kretek.
Mula-mula industri rumahan, kemudian menjadi industri raksasa hingga kini.
Pada awal abad ke-20, perusahaan rokok bagai jamur di musim
hujan. Tumbuh subur dan muncul di mana-mana. Pada tahun 1933, pemerintah
kolonial Belanda memperoleh pemasukan 3 juta gulden dari pajak rokok kretek
(hlm. 13). Hingga kini, pajak rokok menopang negara. Puluhan triliun rupiah
dari pajak rokok masuk ke kas negara.
Industri rokok kretek sangat bergairah di Kudus. Usahawan
pribumi dan tionghoa bersaing ketat. Nitisemito adalah pengusaha rokok kretek
paling sukses di eranya. Dia dijuluki Raja Kretek.
Kondisi ini berlawanan pada kehidupan Djamhari pada masa
itu. Dia jauh dari gemerlap industri kretek. Dia mengasingkan diri di
Singaparna dan Tasikmalaya. Huru-hara antitionghoa meletus di Kudus pada 1918.
Tokoh-tokoh Sarekat Islam (SI) Kudus dituduh berada di balik kekacauan.
Djamhari menjadi pengurus SI Kudus bagian Prawoto (saat ini masuk wilayah
Kabupaten Pati). Dampak dari kerusuhan, Djamhari meninggalkan Kudus untuk
menghindari penangkapan setelah tersiar kabar anggota SI Prawoto ada di lokasi
huru-hara (hlm. 201).
Djamhari digambarkan di buku ini sebagai penemu kretek
berdasarkan catatan van Reijden yang hanya beberapa kalimat. Namun, dia sendiri
tak berbisnis kretek. Semasa hidup di Kudus, dia berdagang di Pasar Prawoto. Orang-orang
di lingkungannya menangkap peluang pasar dan mulai menjual rokok kretek. Semula
dijual eceran di pinggir jalan kemudian bisnis ini berkembang pesat, hingga
melahirkan pengusaha besar seperti Nitisemito.
Dekonstruksi
Sejarah
Babak akhir kehidupan Djamhari di Singaparna dan Tasikmalaya
juga jauh dari kepul asap rokok kretek. Dia berdagang apa saja di Singaparna.
Mulai dari pakaian sampai material bangunan. Masa babak akhir kehidupannya, dia
berprofesi pemborong proyek jembatan dan jalan milik pemerintah di Tasikmalaya.
Dia sempat ke Kudus pada 1932, namun kembali ke Tasikmalaya hingga akhir
hayatnya.
Buku ini ditulis dengan gaya jurnalistik. Penulisnya mantan
wartawan Jawa Pos Radar Kudus. Pendekatan ini ampuh menarasikan sejarah panjang
dan berliku kehidupan Djamhari. Buku dibagi empat bagian yang mencerminkan
setiap tahap penelusuran jejak Djamhari. Setiap bagian diperkaya materi
mengenai konteks zaman.
Beberapa misteri dari Djamhari belum terpecahkan. Misalnya
tahun keberangkatan haji. Data orang Kudus naik haji di National Archief Den
Haag selama 7 tahun sejak 1898 tidak menyebut nama Djamhari (hlm. 100-103).
Di sisi lain, perlu juga dikritik terkait aktivitas dagang
Djamhari yang bertolak belakang dengan pelabelan van Reijden sebagai penemu
kretek. Mengapa seorang penemu justru tak mengembangkan dan memasarkan kretek?
Malah orang lain yang menangguk untung besar. Apa yang terjadi dengan Djamhari di
masa itu? Pertanyan ini penting dijawab untuk meneguhkan sosok Djamhari dalam
sejarah kretek modern. Di buku ini belum terjawab. Penulis mengakui kendala
utama adalah sumber yang sangat minim (hlm. 142).
Di luar itu, signifikansi penelitian ini adalah mengangkat
nama Djamhari ke panggung sejarah kretek. Keberadaannya dinanti, karena selalu
disebut-sebut sebagai penemu kretek. Dalam masa penantian yang panjang, tim peneliti
bekerja dalam kesenyapan melengkapi puzzle sejarah kretek.
Buku ini berguna dalam dunia akademis, karena mengoreksi
sejarah Djamhari yang sebelumnya simpang siur. Dalam buku kretek terdahulu
disebutkan berbagai nama seperti Djamain, Djamarie dan Djoharie yang merujuk
satu orang, yakni Djamhari.
Tahun kelahiran, kematian, kuburan dan keluarga Djamhari
terkonfirmasi dalam buku ini. Kevalidan data yang disajikan mampu
mendekonstruksi sejarah modern yang telah mapan. [Zakki Amali]
*Resensi ini dimuat di koran Jawa Pos Edisi Minggu 11 September 2016. Tulisan di koran telah melalui penyuntingan, sedangkan tulisan di blog versi penulis.
Data
Buku
Judul : Djamhari Penemu Kretek: 100
Tahun Sejarah yang Terpendam dan Lika-liku Pencarian Jejaknya
Penulis : Edy
Supratno
Penerbit :
Pustaka Ifada Yogyakarta
Cetakan : Pertama,
Mei 2016
Halaman : xviii+254
hlm
Komentar
Posting Komentar