Judul
di atas diambil dari sebuah perkataan seorang ahli teknologi dalam film I.T. dengan bintang utama Pierce Borsnan.
Henrik (Michael Nyqvist), ahli IT yang disewa Mike Regan (Pierce Borsnan) dari
Departemen Dalam Negeri tengah memeriksa sistem IT setelah disusupi Ed Porter (James
Frecheville), seorang sosiopat dan psikopat yang baru saja dipecat dari perusahaan
penerbangan Mike.
“Penjara
yang indah. Semua rumah menggunakan sistem ini?”
“Ya,
seluruh rumah”
“Rumah
yang cerdas. Langkah pertama, mari kita buat rumah ini bodoh.”
Begitulah
lebih kurang dialog Henrik kepada Mike saat kali pertama melihat sistem IT
modern di dalam sebuah rumah.
Henrik
meminta Mike menghancurkan seluruh piranti. Kabel penghubung, layar sentuh dan
sistem kelistrikan. Daya tarik rumah modern seketika hilang dan berubah menjadi
sebuah gubug. Tanpa penerangan, air panas, mesin pendingin udara dan televisi. Semua
tindakan itu diperlukan sebagai penyelamatan darurat dari teror yang tak
berkesudahan di dalam rumah.
Rumah
modern itu akhirnya kembali menjadi rumah yang manusiawi—setidaknya mampu
menghadirkan rasa aman dan nyaman.
Percakapan
singkat antara ahli IT dan Mike ini adalah inti dari film ini. Teknologi yang menghidupi
keluarga, anak buah dan perusahaan berbalik menyerang Mike. Semua terjadi
setelah Ed dipecat gara-gara kenaifan dan kepolosannya merespon dan mendekati satu-satunya anak
Mike, Kaitlyn Regan (Stefanie Scott). Ed yang pernah bekerja untuk NSA/Badan Keamanan
Nasional Amerika Serikat memiliki segudang piranti untuk menyusup ke sistem perusahaan
dan rumah Mike. Drama pembalasan pun berlangsung dan dimenangkan Mike. Happy ending. Penonton pun senang.
Bagi
saya akhir film bukanlah sebuah kejutan, tapi membikin penasaran pada saat awal
konflik. Lakon mesti menang keri. Di luar
itu, wacana yang diusung dalam film menarik saya lebih jauh lagi.
Dilema Teknologi Sebagai
Inspirasi
Kata
kunci teknologi sebagai sumber inspirasi film terletak dalam dialog Henrik dan
Mike. Dilema teknologi dalam kehidupan manusia modern menjadi inspirasi film. Film
ini menyusupkan persoalan mendasar saat ini: keamanan sebuah privasi.
Mike
sebagai sipil melawan Ed sebagai mantan pekerja subkontraktor NSA. Warga sipil
melawan kekuatan adidaya. Warga dunia melawan Amerika Serikat dengan NSA-nya. Film
ini semacam otokritik bagi negerinya sendiri.
Isu privasi
dalam teknologi modern membuka mata banyak orang di dunia setelah aksi “bunuh
diri” Edward Snowden, mantan kontraktor NSA.
Program
penyadapan global NSA menunjukkan, tidak hanya tukang bajaj yang disadap,
Kanselir Jerman Angela Merkel juga jadi target, sehingga pemimpin proimigran
ini protes kepada Barack Obama.
Awal
mula borok NSA terbongkat adalah saat Snowden berhubungan media. Proses ini direkam
dengan apik dalam Citizenfour—versi
fiksinya telah dirilis dengan judul Snowden
pada September tahun ini. Meski baru dirilis pada 16 September, skor Internet
Movie Database (IMDb) mencapai 7,3 dari 10 (dilihat 26/9/2016). IMDb adalah
sebuah situs yang memuat informasi film. Sistem skoring setidaknya mencerminkan
kualitas film versi penonton. Semakin tinggi skor menunjukkan semakin banyak
orang menontonnya dan mengapresiasi.
Sebelum
menonton Snowden, sebaiknya melihat Citizenfour. Film dokumenter ini
memenangi Oscar tahun lalu. Judul film diambil dari nama samaran Snowden ketika
berkomunikasi dengan pembuat film melalui email terinskripsi.
Snowden
menguak program penyadapan yang menjaring seluruh informasi dari segala penjuru,
jenis dan bentuk alat komunikasi. Pemerintah Amerika barangkali mengantisipasi terorisme,
namun tak bisa mengelak tuduhan sebagai penerobos privasi ketika misalnya pecakapan
penjual nasi goreng kelas di kaki lima melalui ponsel juga ikut dijaring.
Snowden
kini menjadi buron Amerika dengan tuduhan yang tidak main-main: membocorkan
informasi keamanan negara. Dia satu gerbong dengan Julian Assange yang
membocorkan informasi top secrets Amerika
melalui Wikileaks. Snowden hidup dalam suaka. Sejengkal saja melangkah dari
rumah suaka, aparat akan meringkusnya.
Tampaknya,
medan perang bergeser ke dunia maya. Perang siber di depan mata. Barangkali orang-orang
dunia material ini sudah jenuh dan muak melihat perang secara fisik dengan
sekala kerusakan dan korban yang mengerikan.
Perdamaian
telah dicapai. Tak ada lagi alasan untuk perang. Tapi perang belum benar-benar
berakhir. Pada saat yang tenang—setidaknya di permukaan bumi—justru pergerakan
di langit sangat riuh. Data dan informasi warga dunia yang berseliweran di
langit sana dijaring menggunakan alat semacam pukat harimau atau cantrang yang
dilarang pemerintah kita: semua masuk ke jaring. Tidak hanya informasi kakap
seperti urusan politik dalam negeri Jerman. Urusan kelas teri seperti jual jual-beli
pete di lereng Muria juga terjaring. Informasi akan diolah dan dimasukkan ke
dalam kotak-kotak kepentingan para pimpinan NSA.
Film
I.T. ini menyinyiri teknologi modern yang
dicitrakan cerdas, tapi pada sisi lain bodoh. Siapa yang bisa mengendalikan
teknologi? Tentu manusia. Mustahil teknologi melahirkan dan mengendalikan
dirinya sendiri. Dia lahir dari rahim peradaban manusia. Film ini menempatkan teknologi
pada sebuah dilema dalam peradaban modern.
Dalam
cakupran mikro, film ini otokritik bagi negeri mereka sendiri, namun skala
makronya mengenai kita.
Kegilaan Dalam Berteknologi
Berapa
banyak persoalan yang muncul dari dilema teknologi ini? Konstitusi kita telah
terinjeksi wacana persoalan pengendalian teknologi sampai-sampai harus
repot-repot membuat pasal karet di UU ITE berisi penghinaan dan pencemaran nama
baik di dunia maya.Niatnya mungkin baik, tapi sifat pasal karet tak ubahnya
seperti teknologi modern sendiri: bisa cerdas sekaligus bodoh dalam satu waktu.
Saya
menjumpai orang yang benar-benar difitnah di media sosial malah tak melapor ke
polisi. Mereka lapang dada dan menganggap fitnah di media sosial sebagai angin kentut
yang cepat berlalu tapi tak enak baunya. Sebagian lain ada yang
memperkarakannya sampai ke meja hijau. Orang-orang inilah yang membuat teknologi
tampak seperti rumah Mike pascaserangan siber.
Ada
seorang hakim yang mengeluh lantaran kualitas kasus ecek-ecek sampai meja hijau
gara-gara seorang korban memosting DPO pelaku di facebook, malah pelaku bisa lapor ke aparat yang seharusnya
menangkapnya. Ada seorang aktivis antikorupsi yang pontang-panting menghadapi
dakwaan akibat komentarnya diberitakan media daring. Ada seorang teman yang
stres lantaran terseret dalam pusaran kasus itu. Seorang penulis dengan latar
sarjana Ushuluddin harus dites kejiwaannya hanya karena menulis status di twitter dan facebook tentang pemikirannya.
Kegilaan-kegilaan
ini sudah selayaknya dicerabut seperti Mike yang membuldoser seluruh perangkat
teknologi di rumahnya. Ini rumah kita. Aturan diciptakan untuk sebuah kebaikan
dan keindahan, tapi pada gilirannya membuat orang dipenjara. Apakah pasal itu
ibarat penjara yang indah?
Dengan
ungkapan paling klise tapi perlu: sebaiknya undang-undang direvisi. Negara
harus hadir menghentikan kegilaan dalam berteknologi.
Teknologi
adalah suatu unikum yang mengagumkan dalam peradaban manusia. Apa yang semua
nihil jadi nyata. Tapi teknologi adalah sebuah medium. Sebuah pembatas. Ia bukan
tujuan, melainkan garis pembatas dari sebuah era. Sudah selaiknya “kurir” dalam
peradaban ini dikembalikan kepada asalnya sebagai penjara yang indah bagi para orang-orang
yang menuhankannya. [zaka]
Komentar
Posting Komentar