Dimas Kanjeng Dan Logika Ekonomi

KASUS pembunuhan berantai yang diduga diotaki Dimas Kanjeng di Probolinggo, Jawa Timur bagai sebuah pintu menguak dugaan praktik pengandaan uang (Jawa Pos, 27/9/2016). Diduga, korban dibunuh untuk menutupi kedok penipuan di balik jasa pengandaan uang. Lebih jauh lagi, fenomena pengandaan uang menunjukkan eksistensi dukun di era modern.

Dukun itu bisa saja disebut kiai, ustad atau syekh dengan gelar haji yang melekat pada nama. Penggunaan label agamis memiliki dampak terhadap citra dukun.
Martin van Bruinessen (2013: 63-69) mengaitkan kemunculan dukun di perkotaan dengan motif ekonomi. Layanan dukun mendatangkan benefit bagi dukun dan pelanggan. Pada penelitiannya di tahun 1980-an di kampung miskin Sukapakir Kota Bandung, ditemukan empat dari tujuh dukun baru menjadi dukun setelah pindah ke Bandung. Logika ekonomi beroperasi di balik praktik perdukunan.
Perannya di kota bukan merupakan kelanjutan dari tradisi pedesaan, melainkan adaptasi dari kondisi kehidupan di lingkungan miskin perkotaan.
Fungsi dukun bertransformasi. Dari sekadar rujukan bagi orang sakit di desa bergeser ke penyembuh “penyakit” khas perkotaan, yakni penyakit kesulitan ekonomi, karir dan problem jodoh.
Mentalitas kemiskinan dalam masyarakat kita menjadi penopang keberadaan Dimas Kanjeng. Kemiskinan yang mendorong orang datang ke Dimas bukanlah dalam bentuk absolut dan struktural, melainkan kultural. Orang tidak benar-benar miskin untuk mengandakan uang. Orang itu telah memiliki uang dan mengingini lebih banyak dengan cepat dan tanpa risiko.
Bisa jadi memang ada orang yang benar-benar miskin datang ke Dimas. Hal ini mungkin terjadi karena ketidakberdayaan menangani tekanan-tekanan batin dalam kemiskinan. 
Sebuah Karomah?
Ketua Yayasan Padepokan Dimas Kanjeng, Marwah Daud Ibrahim dalam pemberitaan di Jawa Pos membantah tuduhan pengandaan uang. Dia lalu menyebut adanya kekuatan gaib (karomah) yang beroperasi dalam diri Dimas Kanjeng guna menghasilkan uang. Bimsalabim uang itu muncul dari balik punggung Dimas.
Dalam diskursus keIslaman, karomah memiliki dimensi transenden yang bertalian dengan derajat hamba di mata Allah. Orang-orang dengan karomah (keajaiban) dalam tradisi Islam di Jawa dicitrakan sebagai seorang wali (orang terkasih Allah).
Dimas bukan dalam kerangka sebagai wali. Dalam Alquran QS. Yunus: 62-63, wali didefenisikan sebagai orang tidak memiliki rasa takut selain kepada Allah dan memiliki keimanan dan ketaatan penuh.
Setidaknya status hukum yang disandang Dimas sebagai tersangka pembunuhan telah menggugurkan seluruh status agama yang diembannya. Riwayatnya sebagai juru bicara agama telat tamat. Satu-satunya yang tersisa hanya sebagai citranya sebagai dukun.
Dalam penafsiran yang lebih jauh, Habib Lutfi bin Yahya (2009: 137-144) menjelaskan karomah membuat hamba lebih dekat dengan Allah. Ada jenis keajaiban lain yang hasil akhirnya membuat hamba jauh dari Allah yakni istidraj(sihir). Keduanya bukanlah keajaiban melainkan asrar (rahasia yang berupa kelebihan) yang diperoleh dengan upaya (tirakat).
Memaknai pengandaan uang sebagai karomah karena sifatnya yang luar biasa tidaklah tepat. Pengandaan uang dalam dimensi ini adalah sihir yang membuat orang semakin jauh dari Tuhan. Menurut Lutfi, para ulama telah lama mengkhawatirkan ekses negatif dari keajaiban tersebut. Orang hanya mengejar tujuan-tujuan keduniawian dengan ilmu yang bersifat dzahiriyah, lalu melalaikan Tuhan. Ilmu dipandang sebagai tujuan, bukan jalan untuk taqarrub ilallah.
Logika Ekonomi
Karomah dalam pemaknaan lain adalah kontinuitas. Sebuah pesan kenabian memberi gambaran tentang suatu kerja yang istikamah (ajek) lebih baik dari seribu karomah (alfi karomah). Sesuatu yang dikerjakan dengan konsisten dalam waktu lama memiliki dampak yang besar dan mengakar dibanding kerja-kerja instan mengandalkan keajaiban.
Praktik pengandaan uang secara gamblang adalah kerja instan untuk kaya. Fenomena serba ingin cepat ini menunjukkan masih adanya mentalitas menerabas—meminjam istilah Koentjoroningrat—yang bercokol di masyarakat kita. Kerapuhan mentalitas ini terjadi di tengah-tengah upaya pemerintah untuk memperbaiki jiwa masyarakat melalui program Revolusi Mental.
Dalam kasus Dimas, logika ekonomi bersisihan dengan agama. Antara menolong dan menipu beda tipis. Label dan institusi keagamaan seperti masjid dan pesantren digunakan untuk menyamarkan praktik dugaan pengandaan uang. Adanya orang-orang di padepokan yang disebut santri dan penggunaan istilah sultan (pengepul uang) mempertegas pertautan logika ekonomi dan agama. Agama memang dituntut untuk memberikan jalan ekonomi bagi umatnya. Pada titik tersebut, pengandaan uang beroleh legitimasi.
Logika ekonomi Dimas yang sesat menjadi alarm bagi pemerintah dan masyarakat kita untuk memperhatikan pembangunan etos perekonomian. Bukan sekadar fisiknya, tapi jiwanya. Jiwa-jiwa kreatif harus diciptakan agar mampu memenuhi kebutuhan ekonomi di tengah persaingan yang ketat. Era modern menyediakan sumber pendapatan baru yang perlu diketahui masyarakat, sehingga ceruk-ceruk bisnis baru segera diisi oleh orang-orang baru dengan etos kerja yang istikamah. Semoga! [Zakki Amali- ]

*artikel ini dimuat koran Jawa Pos rubrik Opini hlm 4 edisi 29/9/2016.



Komentar