SUATU sore ketika hendak balik ke kos, sebuah keinginan
muncul untuk menyambangi toko buku yang memberi diskon seperempat harga. Semula
hanya ingin memeriksa buku-buku anyar di bagian sastra dan sejarah.
Keinginan membeli muncul ketika sebuah buku ramping dan lebar
bertulis Hikayat Kretek (2016). Rupanya
ini suntingan baru dari buku Amen Budiman dan Onghokham tentang kretek yang
terbit pada 1987. Foto copy-annya sudah ada di rak buku. Tapi dipikir ulang,
buku ini layak dibeli untuk koleksi meski sudah berumur 27 tahun. Toh semakin tua umur buku, bukanlah semakin diburu dan dikoleksi!
Beberapa hari teronggok di suduh kamar 3x3 meter yang pengap
di pojok kompleks kos lantai dua. Tak ada niat membacanya, karena rasa penasaran sudah
terobati pada salinan buku itu yang diperoleh beberapa tahun lalu.
Hanya saja, keinginan membuka buku itu terpancing ketika
membaca sebuah narasi mengenai tembakau. Cukup singkat. Satu paragraf saja. Intinya
berkisah tentang mitologi Ki Ageng Makukuhan dalam lanskap keyakinan petani
tembakau di Temanggung. Nama itu selalu disebut para petani dalam ritual musim
tanam. “Ini tambaku (ini obat dariku)”.
Ucapan itu tertancap sebagai sebuah kisah awal keberadaan tembakau di
Temanggung sebagai obat.
Puthut EA melaporkan mitos itu dalam narasinya berjudul:
Hikayat Negeri Tembakau. Feature yang dibuat selama sebulan untuk National Geographic Indonesia edisi
Desember 2012. Naskah inipun sebetulnya pernah saya unduh dari sebuah situs internet, tapi tak sempat membaca detail hingga akhirnya bertemu dengan naskah yang sama melalui buku #Narasi: Antologi Prosa
Jurnalisme (2016).
Dua naskah dengan judul nyaris sama ini membawa saya pada
sebuah ingatan tentang berita lempang yang berkisah kuburan keramat yang jadi
jujukan pengusaha rokok di Kudus dan sekitarnya.
Sebuah
Ingatan
Hampir enam tahun, ingatan tentang pusara Sunan Kedu, Abdul
Basyir masih teraba. Bagaimana saya mewawancarai juru kunci, membuka buku tamu berisi
nama dan instasi peziarah dan berbincang dengan warga. Serta menyaksikan sebuah
tradisi lokal berupa haul atau ulang tahun kematian pada setiap tanggal 12 Suro.
Semua berawal dari undangan tokoh masyarakat setempat, Hardi
Cahyana. Seorang narasumber yang low
profil dan akrab dengan pewarta. Dia bekerja Djarum, perusahaan rokok
ternama.
Rumahnya berada di lingkungan Desa Gribig, Kecamatan Gebog,
tempat di mana Sunan Kedu dimakamkan. Titi mangsa yang saya dapat dari juru
kunci, Sunan Kedu wafat pada 1612. Kedatangannya ke Gribig pada 1576 dan pada
1599 membangun masjid bernama Attaqwa—tak jelas nama masjid ini sejak dahulu
atau belakangan ini. Jika soal masjid ini benar dari sisi sejarah, maka sama
tuanya dengan Masjid Alqsha yang dibangun Sunan Kudus, Jakfar Sidiq. Terpaut
selisih 50 tahun lebih muda dari masjid yang dibangun Sunan Kudus pada 1549.
Satu hal menarik dari Sunan Kedu adalah keterkaitan dengan Ki
Ageng Makukuhan. Keduanya konon mengabdi kepada Sunan Kudus. Makukuhan membawa
benih tembakau dari Sunan Kudus untuk ditanam di Temanggung dan Sunan Kedu
membawa hasil tembakau ke Kudus untuk dijual.
Keterkaitan ini hanya sebuah gerundelan sejarah, karena
berasal dari cerita tutur, mitologi dan cerita turun-temurun. Pendekatan sejarah
modern tak mempercayai cerita ini. Amen dan Onghokham saja jelas menyebut,
tembakau berasal dari Portugis pasa era kolonialisme, karena kata tembakau
akarnya tabaco atau tumbaco.
Jika mengacu argumentasi itu, patut pula dipertanyakan bagaimana
logikanya Sunan Kudus memperoleh bibit tembakau, karena Portugis mengenalkan
tembakau pada permulaan abad ke-17. Sementara Sunan Kudus lahir diperkirakan
pada pertengahan abad ke-15. Cerita tutur itu mungkin relevan dengan pendapat
lain yang meyakini tembakau telah ada di Nusantara sebelum abad ke-16 atau
setidaknya tembakau telah ada pada abad ke-16.
Koneksi Kudus (Demak Bintoro) dengan Portugis terjadi pada awal
dan pertengahan abad ke-16 ketika armada Pati Unus dan Ratu Kalinyamat
menyerang Portugis di Malaka. Tiga serangan, satu dari Pati Unus dan dua dari
Kalinyamat berujung kekalahan. Apakah dari aksi militer itu ada benih tembakau
yang terbawa prajurit yang selamat? Hanya Tuhan yang tahu!
Cerita rakyat mengenai asal muasal perdagangan tembakau di
Temanggung-Kudus belum terkonfirmasi—meski sebagian—dengan peristiwa yang
tercatat dalam sejarah modern. Namun setidaknya, mitologinya telah terpaut. Petani
Temanggung menempatkah Makukuhan sebagai tokoh keramat dan pengusaha rokok di
Kudus memosisikan Sunan Kedu sebagai penglaris.
Mitos yang masih diyakini pada akhirnya sama dengan dua buku
yang saya peroleh, meski telah lama sangat relevan untuk diproduksi ulang.
Sesuatu yang lama selaiknya memang tetap dirawat sembari meniti masa yang baru di
depan sana. Barangkali ada kearifan dari mitos dan ilmu pengetahuan pada sejarah
modern di masa depan. Begitulah kehidupan. []
Komentar
Posting Komentar