Senja di Pulau Panjang, Oktober 2015. Foto: Zakki Amali. |
Ketenangan dan keriangan di Pantai Bandengan mengundang
banyak orang untuk mengunjunginya. Lebih dari seabad lalu, pantai berpasir
putih ini menjadi lokasi favorit Kartini dan dua saudaranya untuk tetirah. Air laut
yang hangat, langit biru, udara sejuk dan cakrawala tanpa batas adalah sederet
anugrah dari semesta.
Sudut pantai yang tenang itu berbentuk setengah lingkaran
atau menyerupai cekungan. Sebidang pantai pasir putih terlindungi benteng alam
di sisi barat dan timurnya. Hempasan ombak kecil terus menerus berlarian
mencapai bibir pantai. Bandengan hanya menyediakan kolam kecil—zona aman tidak
lebih dari 20 meter dari bibir pantai—untuk dinikmati airnya yang asin dan
hangat.
Wartawan Mutiara, Hanna
Rambe dan fotografer Sinar Harapan,
Henry Kawilarang mengunjungi pantai itu pada 1979—satu abad setelah kelahiran
Kartini. Dia menuliskan observasinya dalam buku Satu Abad Kartini (1979). Pasir putih dikotori oleh tumbuhan hijau
yang terserak di sepanjang pantai. Warna air di tepi pantai keruh, namun
anak-anak riang gembira bermain air. Nelayan dengan perahu layar menuju bambu-bambu
yang dipancangkan di tengah laut sebagai rumpon untuk mengail ikan. Kawasan pantai
dimanfaatkan sebagai lapangan perkemahan.
Tiga dekade setelah kunjungan Hanna, Bandengan telah berubah
menjadi sebuah destinasi wisatan bahari penting di eks Karisidenan Pati plus
Semarang. Pantai bersih dari tumbuhan hijau dan sampah. Jetski, banana boat, pelampung ban dalam dan
kano berjajar di tepi pantai. Perahu dengan mesin tempel berjajar di dermaga
siap mengangkut ke sebarang: Pulau Panjang.
Akhir tahun 2015, kali terakhir saya ke Bandengan bersama
seorang kawan. Mengendarai sepeda motor, membelah jalanan Semarang-Jepara sekitar
1,5 jam lalu menyebrang ke Pulau Panjang dengan tiket Rp 15 ribu perorang untuk
perjalanan pulang-pergi dengan durasi sekali jalan sekitar 15 menit.
Senja kemasan yang menghisai Pulau Panjang dan mengiringi perjalanan
ke Bandengan sungguh indah. Senja itu menyimpan kenangan perjalanan terakhir
saya ke Bandengan—setelah kali pertama mengenalnya sejak duduk di bangku SD. Pesona
senja barangkali luput dari detail dalam surat-surat Kartini.
Penyesalan Mendalam
Saya membayangkan, keriangan Kartini seperti anak-anak yang
dijumpai Hanna ketika menyambangi pantai seabad usai kelahiran. Kartini masih
remaja kala menyenangi pantai. Jarak dari tempat tinggalnya di Pendopo
Kabupaten Jepara kini ditempuh 10-15 menit dengan sepeda motor. Saat itu
mungkin perlu waktu dua sampai tiga kali lipat dari jarak tempuh sekarang.
Bagi seorang anak dan remaja yang hidup dalam kultur Jawa
yang ketat, pantai adalah oase. Ia sebentuk ruang untuk bergerak dan melepaskan
diri dari keterkungkungan. Pada masa dewasa, pantai ini menjadi medan pergulatan
dirinya yang kemudian disesalinya.
Titi mangsa itu pada 24 Januari 1903 saat usia Kartini
memasuki tahun ke-24. Dia bergulat dengan keinginannya yang paling besar:
sekolah ke Belanda. Dan dari sana, dia akan memanfaatkan posisinya untuk
membongkar borok kolonialisme. Tapi, cita-cita itu kandas terseret ombak
pemikiran Abendanon.
Empat alasan menjadi dasar penolakan Abendanon seperti dimuat
dalam laporan khusus Majalah Tempo
edisi 28 April 2013 yang kemudian dibukukan oleh Kepustakaan Populer Gramedia
dengan judul Gelap-Terang Hidup Kartini.
Abendanon, istri Estelle “Stella” Zeehandelaar—sahabat
pena Kartini, saat itu menjabat direktur di Departemen Pendidikan, Agama dan
Industri Hindia Belanda.
Abendanon mencegah Kartini dengan pertimbagan ayah Kartini
sudah tua, Kartini akan dilupakan rakyatnya, Kartini akan dicap sebagai nonik
Belaanda ketika pulang dan banyak kesulitan selama di Belanda. Ujung-ujungnya,
Abendanon menakut-nakuti Kartini agak mengurungkan niat ke Belanda.
Keinginannya bagai karang yang tak mudah terkikis meski ombak
terus menghantam. Dia tetap menulis sepucuk surat yang merahasiakan
keinginannya untuk tetap sekolah di Belanda. Kelak ketika kembali lagi ke
Jepara, dia akan mendirikan sekolah anak-anak khusus perempuan Jawa. Namun,
sekali lagi niat itu kandas.
Bandengan menjadi saksi bisu dalam sejarah perjalanan hidup
Kartini. Dari tempat yang riang berubah menjadi tempat yang murung. Impiannya dilarung
ke samudera. Penyesalan yang dalam diduga oleh seorang penulis buku Kartini,
Sitisoemandari Soeroto, memengaruhi kehidupannya batin setelahnya. Kartini
seperti orang yang kalah. Dia tetap melawan dengan sisa-sisa semangatnya dengan
mendirikan sekolah dan mendidik anak-anak perempuan Jawa agar lepas dari pasung
kultur patriarki.
Kosmologi Pantai
Kartini menempatkan Bandengan dalam hidupnya sebagai medium pertumbuhan
diri. Masa kanak-remaja yang riang berubah murung kala dewasa. Bandengan memang
menawarkan atomosfir ketenangan pada orang-orang dewasa. Keputusan penting kerap
direnungkan di tepi pantai.
Seorang kawan saya berujar, ”Kalau penat di Semarang, pergi sejenak ke Jepara sambil ngebir di tepi
pantai. Itu enak sekali.” Meski saya tahu, Jepara tidak mentoleransi minuman
beralkohol nol koma sekian persen pun, tetapi teman saya tetap bisa memperoleh
lantas menenggaknya di kala senggang bersama desiran ombak dan suara gesekan daun
pohon kelapa.
Bandengan barangkali lebih disukai Kartini karena letaknya
yang menyempil di antara garis pantai. Pantai lain ombaknya terlalu banal, kedalaman
pantai tak cocok untuk bermain-main air dan lingkungannya terlalu terbuka.
Pantai di selatan dan utara Bandengan seperti Pantai Kartini dan Benteng
Portugis—sebetulnya benteng ini dibangun Belanda—bukalah lokasi yang nyaman untuk
tetirah. Angin dan ombak kerapkali kencang dan telah menjadi bandar bagi
kapal-kapal antarpulau.
Kemerosotan budaya dan sejarah membuat Kartini hanya bisa
menikmati tepian pantai yang tersembunyi oleh semak-semak dan perkampungan. Kartini
barangkali jika dilahirkan sebagai laki-laki akan menjadi seorang pelaut. Kartini
memang tidak menjadi laki-laki, tapi keyakinannya mengarungi lautan jauh telah
ditancapkan ke dalam batinnya.
Dia ingin menahlukkan laut dengan sekolah di Belanda. Dia mungkin
saja ingin membuktikan, tanpa menjadi seorang laki-laki, toh mampu menahlukkan ganasnya laut dan membawa pulang ilmu pengetahuan
untuk anak-anak perempuan Jawa.
Andai saja tidak terjadi kemerosotan sejarah, dalam surat-surat
Kartini akan bertebaran pulau-pulai indah yang dimiliki Jepara seperti Pulau
Panjang dan gugusan pulau-pulai kecil di Karimunjawa. Seratus tiga puluh tujuh tahun
setelah kelahiran Kartini, kini pantai-pantai Jepara berevolusi menjadi destinasi
wisata bahari yang penting di provinsi Jawa Tengah. Karimunjawa adalah
satu-satunya destinasi wisata bahari di Jawa Tengah. Orang-orang kulit putih
yang dulu menjajahnya, kini datang dengan membayar tiket pesawat kecil atau
kapal perintis untuk bisa menikmati Karimunjawa.
Geliat wisata Karimunjawa membuat saya berkunjung
berkali-kali. Berbalut penugasan kantor, saya acap menikmati sudut pandang yang
lain saat ke Karimunjawa. Perlu satu tulisan tersendiri. Geliat ini mengobati dalam
kemerosotan sejarah kemaritiman Jepara.
Jepara telah hilang dari peta perniagaan bahari pada masa
kolonialisme. Tepatnya ketika Belanda memperoleh konsesi dari Mataram setelah
ikut membantu memadamkan pemberontakan Trunojoyo dari Madura pada 1677. Pusat perniagaan
dari Jepara pindah ke Semarang. Itulah awal dari kemerosotan pelabuhan Jepara
hingga saat ini. Dan imbas kekalahan bertubi-tubi dari peperangan melawan Portugis
di Malaka pada 1511 (Pati Unus), 1550 dan 1570 (Ratu Kalinyamat).
Jepara kini menyisakan pantai-pantai yang dalam benak Kartini
merupakan tempat rekreasi yang penting. Dia mengidentikkan Bandengan sebagai “Klein
Scheveningen” atau “Scheveningen kecil”, sebuah destinasi rekreasi terkenal di
dekat Den Haag, Belanda. Nama pantai itu dinisbatkan pada nama desa. Sementara nama
Kartini dipakai untuk nama pantai yang menjadi dermaga utama Jepara. Pemberian nama
dermaga dan pantai barangkali untuk mengenang peristiwa di Bandengan.
Menurut Pramoedya Ananta Toer (2010), Jepara dalam benak
Kartini adalah “pojok yang dilupakan”. Sejarahnya yang membentang dari abad
ke-8 hanya meninggalkan sejumput kenangan yang dilap dan dimantrakan saban
waktu. Begitu juga dengan Kartini yang menjadi buah bibir sepanjang bulan
April, lalu dilupakan pada bulan-bulan berikutnya yang telah dikapling oleh isu
dan kelahiran-kelahiran tokoh nasional yang lain.
Jepara dan Kartini adalah entitas yang tak bisa dipisahkan
dan saling mengait satu sama lain. Keduanya meninggalkan sebidang pantai yang
menyempil. Pantai yang menawarkan ruang untuk mengkhusyui perjalanan lahirnya
sejarah modern dan munculnya gerakan emansipasi. Sebidang pantai yang
menumbuhkan kenangan terhadap masa lalu. Sebuah pantai yang menyiratkan
kekalahan Jepara dan juga Kartini, namun tidak memadamkan api semangat
emansipasi. Selamat Hari Kartini. []
Komentar
Posting Komentar