Apakah Kudus Laik Menjadi Kota Pusaka Dunia?

Menyimak pengajian Tafsir Jalalain oleh KH Sya'roni Ahmadi dari emperan toko. Foto: Zakki Amali.
KETIKA menyaksikan daftar sementara kota-kota di Indonesia yang masuk jajaran Kota Pusaka Dunia (World Heritage City) UNESCO, pikiran saya melayang ke timur. Kursi empuk yang saya duduki di salah satu gedung pencakar langit di Jalan Pandanaran Semarang, tak membuat nyaman. Gelisah. Pikiran saya terus menuju ke timur.
Di gugusan Pesisir Utara Jawa yang tanpa kini tanpa garis pantai terdapat satu wilayah yang berpotensi menyalip di tikungan. Daftar-daftar itu disusun oleh pemerintah pusat melalui pengusulan pemerintah daerah. Semarang (Kota Lama), karena peran aktif pemerintah kota.
Kota Lama diusulkan karena memenuhi unsur nilai-nilai kebaikan bagi jagat sesuai kriteria UNESCO. Kudus, sebuah kabupaten disebelah timur Semarang, pikir saya saat itu juga memiliki potensi masuk daftar itu. Tapi setelah mengetahui ujung tombaknya harus pemerintah daerah, saya agak pesimis. Meskipun punya peluang besar jika harus head to head dengan Semarang pada awal pengusulan ke pemerintah pusat.
Situasi Kawasan
Masa-masa remaja saya lekat dengan Kudus Kulon. Sebuah sebutan kuno yang politis untuk topografi kota yang dibelah oleh Kali Gelis dan menjadikan Kudus jadi dua yakni Kudus Kuloan dan Kudus Wetan.
Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus adalah inti dari Kudus Kulon. Denyut kawasan itu tak berubah setidaknya dalam satu abad terakhir. Ada konsistensi sejarah, kelestarian nilai dan aktivitas yang relatif sama. Gang sempit, rumah adat, tembok tinggi, madrasah, aktivitas keagamaan dan peniagaan masih hampir sama pada satu abad yang lalu.
Penandanya sangat mudah. Madrasah Qudsiyah yang memasuki usia satu abad adalah tetenger untuk menunjukkan sebuah konsistensi sejarah kawasan. Belum lagi, Madrasah Kenepan yang usianya lebih tua setahun Qudsiyah. Meski berada dalam satu lingkungan, pengelolaan Madrasah Kenepan berjalan mandiri. Belum lagi Madrasah TBS yang masuk usia ke-90 tahun ini.
Keajegan situasi kawasan Menara pada masa lalu sebagai pusat penyebaran Islam hingga kini menjadi pusat pendidikan dan penguatan Islam bernilai penting.
Tentu saja masih sederet keajegan-keajegan dari kawasan Kudus Kulon yang laik dijadikan landasan dalam upaya membuka jalan menuju internasional. Keberadaan Omah Kembar, peninggalan Nitisemito menyimbolkan denyut perekonomian. Menurut kabar, hak milik rumah dan tanah yang berada di sebelah timur Sungai Gelis telah dimiliki nonkeluarga. Sedangkan di sebelah barat sungai masih dimiliki keluarga, namun dalam proses penjualan.
Kudus Kulon berkembang sangat dinamis tanpa meninggalkan aktivitas pada awal pembangunan kota dan pemukiman oleh Sunan Kudus. Namun, menguatnya sentimen rasial dan keagamaan membuat banyak orang bertanya-tanya tentang predikat Kudus sebagai kota yang menebar toleransi kepada minoritas.
Andai saja, kerusuhan rasial 1918 tak terjadi, tentu akan memuluskan dukungan dari masyarakat luas mengenai nilai sejagat berupa toleransi yang terjaga sejak era Sunan Kudus. Dan tentu saja, industri batik yang berpusat di Kedungpaso (selatan Menara), akan lestari hingga kini dan sekaligus meneguhkan Kudus sebagai salah satu pemain di Pantura. Kerusuhan itu menggulung industri batik baik kalangan pribumi maupun tionghoa kala itu.
Bangunan Menara juga menyimpan sejumput perdebatan yang terbawa-bawa hingga kini, meski beberapa dekade lalu sudah menjadi medan pertarungan sengit antarpakar tentang ‘Siapa yang membangun Menara?’. Barangkali tidak penting lagi siapa yang membangun, meski kita tahu, para tukanglah yang sesungguhnya membangun, namun kini situasi telah berubah. Dari persoalan klaim ke persoalan sebuah stabilitas kawasan yang memberikan sumbangsih bagi keseluruhan kawasan di dunia.
Sebagai sebuah kasus yang hampir mirip, Kisah “Cheng Ho Mampir Semarang” toh telah hilang dari medan perdebatan, meski banyak orang tahu, Zheng He tidak pernah mampir pantai Mangkang dan akhirnya sampai di Gedung Batu, Simongan. Barangkali para ahli sudah bosan berdebat dan sudi mengakhiri dengan memegang teguh pendapat masing-masing. Kisah masa lalu bakal ‘konon’ karena perdebatan telah usai dan masa depan menanti dijejak.
Saya hakkulyakin, kawasan Menara tak perlu sebuah pengakuan internasional. Toh, kawasan ini mampu memberi penduduk sekitarnya penghidupan dan jadi sumber ekonomi. Tukang ojek, tukang becak, sopir angkutan, kusir dokar, pedagang kaki lima, penjual mi ayam dan penjual martabak menikmati melimpahnya peziarah yang hilir mudik.
Denyut ekonomi telah terberi dengan posisi Sunan Kudus dalam kosmologi Islamisasi Jawa. Tak perlu label dan branding, karena sudah terkenal dari sono. Sebagai salah satu makam dari sembilan makam paling ramai dikunjngi umat muslim lokal dan nasional, sudah dipastikan tak perlu promosi lagi untuk mengenalkannya ke masyarakat di dalam negeri. Tanpa diundang, wisatawan religi ini akan mengalir deras dan kadang tak terbendung saat hari-hari peringatan kewafatan (haul) dan pengganian luwur (kain penutup makam) yang dikenal sebagai Buka Luwur.
Efek pengakuan internasional paling-paling mendongkrak kunjungan wisatawan mancanegara. Suatu hal yang tak perlu susah-susah diusahakan pemerintah daerah menjaring wisman, karena turis lokal merupakan sumber mata air yang sulit kering meski di tengah kelesuan ekonomi makro. Industri pariwisata religi akan terus hidup karena ditopang oleh masyarakanya sendiri. Kesadaran tradisi dalam beragama telah mendorong tumbuhnya industri itu sendiri. Ya, memang jika berhenti pada capaian artifisal sebatas ‘mendongkrak turisme’, pengakuan itu sungguh tak perlu.
Menara dan Masjid Al Aqsha. Foto: Zakki Amali

Memperjuangkan Nilai
Apa yang penting dari sebuah pengakuan, selain tersebarnya nilai-nilai lokalitas ke dalam wacana global?
Tidak ada yang lebih penting dari berhasilnya propaganda dalam perang ideologi dunia dalam medan yang sangat cair: layar datar. Propaganda menyebar dari gurun tandus di Suriah dan Iraq ke dusun-dusun yang terdapat anak muda melek teknologi dan belajar agama dari dunia maya. Media sosial dapat menjadi titik permulaan revolusi.
Posisi geopolitik Islam Indonesia digoyang dengan gerakan-gerakan ‘pemurnian’ yang diimpor dari zona konflik antaraliran dan agama. Islam Nusantara coba diganti sekelompok orang dengan sistem khalifah. Propaganda dilawan dengan propaganda. Memperjuangkan nilai-nilai dari kawasan Kudus Kulon bisa jadi bakal menancapkan Islam Nusantara lebih dalam ke wacana global.
Indonesia dengan mayoritas penduduk muslim adalah harapan sekaligus cobaan. Di tengah bopengnya citra Islam di dunia internasional yang kebarat-baratan, Indonesia menawarkan harapan bertahannya Islam yang ramah. Indonesia menawarkan diri sebagai solusi atas konflik melalui nilai moderasi, toleransi dan keramahan.
Keberlimpahan jumlah umat muslim tak bisa dikelola dalam satu perintah komando. Penumpang gelap demokrasi mengambil keuntungan lantas menginvestasikannya ke dalam gerakan-gerakan radikal yang menjadi cikal bakal terorisme. Cobaan terberat adalah penolakan dari dalam tubuh sendiri. Ketidakompakan ini memicu penyakit stroke dalam tubuh Islam Indonesia. Negara sebagai otak telah menstimulus gerakan Islam yang ramah, namun penyumbatan ajaran-ajaran berlemak yang diimpor dari zona konflik memicu mampatnya aliran darah. Apa boleh dikata, kaki-tangan gerakan Islam Nusantara tak berjalan secara kaffah.
Harapan-harapan untuk mengubah citra dan laku Islam Ramah tumbuh subur di tanah Indonesia. Tapi, tidak banyak orang mencari tahu dan mau tahu. Jalan pintas—yang tak benar-benar pintas—bernama pengakuan internasional bakal mengobati rabun dekat dan rabun jauh terhadap nilai-nilai toleransi di Kudus Kulon.
Rumah Adat Kudus di Museum Kretek. Foto: Zakki Amali. 
Jalan Terjal
Beberapa bulan setelah mengikuti pertemuan sekumpulan penasihat kota dan perwakilan pemerintah daerah, saya bertemu seseorang yang meyakinkan Kudus lebih baik dari Semarang. Andai dia jadi juri dalam sebuah komite yang menentukan Kudus atau Semarang, setidaknya, masuk dalam daftar tentatif Kota Pusaka Dunia dari Indonesia, telunjuknya mengarah ke Kudus.
Saya tidak meragukannya, karena telah terlibat dalam beberapa proyek arsitektur kota-kota Pusaka Dunia dan melibat puluhan Kota Pusaka dan Situs Warisan Dunia di berbagai belahan dunia.
Pria ini memiliki kenangan yang dalam tentang Kudus. Pancingan saya berhasil membuka pembicaraan yang berkualitas mengenai peluang Kudus Kulon untuk diperjuangkan masuk ke dalam Situs Warisan Dunia—dengan catatan kritis jika pemerintah daerah punya politic will alias mau dan mampu.
Di usianya menginjak 61 tahun, kenangan meriset kawasan kuna di sekitar Menara, tiba-tiba terbayang dalam obrolan di tengah badai dan hujan di kantornya yang rapi dan sejuk. “Saya akan mensuport dan membantu. Saya sudah tua, tidak seharunya di jalur aktivis lagi. Kamu saja yang muda. Kalaupun saya membantu, semata karena rasa sayang terhdap Kudu.”
Begitu kira-kira, kalimat penegasan yang meluncur dari lelaki berbadan kurus, penyuka rokok putih dan berkacamata ini, setelah saya ‘agak’ memaksa untuk menjadi salah satu pembicara bila kelak diskusi tentang tema tulisan ini dihelat.
Ditilik dari kriteria yang ditetapkan UNESCO, setidak-tidaknya, suatu kawasan ditetapkan sebagai Kota Pusaka Dunia harus memiliki satu atau lebih dari 10 Outstanding Universal Value atau Keunggulan Nilai Sejagat. Kawasan Kudus rasa-rasanya kok sudah klop dengan nilai ini.
Ada 10 kriteria penilaian. Kudus Kulon bisa masuk setidaknya ke empat bidang nilai. Namun, satu saja sudah cukup, yakni, “Mengandung nilai-nilai luhur manusia, dalam rentang waktu atau dalam lingkup budaya dunia, tentang perkembangan arsitektur, teknologi, seni monumental, perencanaan kota atau rancangan lansekap”.
Kudus Kulon tidak hanya memiliki nilai-nilai luhur melalui ajaran toleransi dari Sunan Kudus seperti pelarangan penyembelihan sapi, tetapi juga punya arsitektur rumah adat yang penuh ukiran bermakna dan rumit nan indah. Rancangan lansekap di Kudus Kulon juga unik dengan gang-gang sempit. Menara juga bagian dari arsitektur yang monumental.
Soal penyembelihan sapi ini belum sepenuhnya diterima kalangan akademis yang mensyaratkan adanya dokumen yang dengan terang benderang atau isyarat mengenai ajaran Sunan Kudus. Namun, arsitektur itu meyakinkan bahwa nilai-nilai yang lestari dan menjadi diugemi sebagai pegangan hidup masyarakat lebih penting dari teks. Itu adalah bukti tak terbantahkan nilai-nilai luhur yang berkesinambungan.
Nilai-nilai bukan sekadar digali dari sebuah peninggalan tetapi integritas, keotentikan serta sistem perlindungan dan pengelolaan untuk menjamin kelestariannya. Artinya, suatu kawasan itu benar-benar hidup dan melahirkan sebuah kehidupan dengan keajegan-keajegan dari masa lalu.  
Siapa saja tentu boleh melontarkan klaim amatiran dan awam ini untuk menilai setiap kawasan di seantero negeri. Namun, dari keajegan-keajegan yang bertahan lebih dari satu abad yang meyakinkan, kawasan ini laik diperjuangkan masuk ke dalam daftar World Heritage City. Tapi untuk benar-benar masuk ke dalam daftar itu, perlu pengujian keajegan sejak abad ke-16 hingga ke-21. Satu abad terakhir cukup sebagai modal sosial untuk mengaungkan dan menyemangati pemerintah daerah dan komunitas masyarakat menuju ke arah sana.
Pemerintah telah menetapkan tiga kota dalam daftar sementara, yakni Semarang (Kota Lama), Sawahlunto (bekas tambang) dan Jakarta (Kota Tua). Tiga ini dipilih dari saringan 12 kota. Sembilan kota lain ditetapkan jadi Kota Pusata tingkat nasional yakni Palembang, Bogor, Yogyakarta, Karangasem, Denpasar, Banjarmasin, Bau Bau, Banda Aceh, dan Trowulan, Jawa Timur.
Tidak mengherankan bila ketiga kota itu mewakili satu wacana yang sama yakni romantisme kolonialisme, karena arus utama sejarah didominasi cerita penjajahan. Lain halnya dengan Kudus Kulon yang berdenyut prakolonialisme. Sedikit literatur, banyak cerita tutur. Berbanding terbalik dengan era kolonialisme yang menyediakan arsip melimpah di geladak kapal penjajah.
Salat Jenazah almarhum KH Ma'ruf Irsyad, 22 Juli 2010. Foto: Zakki Amali. 
Proses menuju pengakuan ini bisa kira-kira sama dengan perjalanan seorang anak sekolah dari SD hingga SMP. Setidaknya 12 tahun mulai dari masuk ke daftar sementara sampai ditetapkan oleh komite di UNESCO. Indonesia berambisi menggondol gelar internasional ini, karena tak belum memiliki satu Kota Pusaka Dunia.
Saya baca berita online, kelompok masyarakat Lasem, Rembang juga berkeinginan menyodok ke dalam daftar tunggu yang sementara itu. Langkah yang laik diapresiasi dan didorong, karena wacana Kota Pusata Dunia tengah menjangkit kota-kota dengan peninggalan kuno. Ada tren positif menumbuhkan kesadaran mengaktualkan sejarah. Tujuannya, agar kota itu hidup dan menebar inspirasi. Tidak sekarat dan mampus terkubur debu dan rongsokan seperti kita lihat bangunan-bangunan tua di berbagai kota.
Perlu waktu lebih lama lagi jika Rembang dan juga Kudus masuk papan tengah sebagai pendatang dalam perebutan nomor urut dalam daftar tunggu. Masih ada sembilan kota yang menunggu. Setidaknya, perlu beberapa kepala daerah lagi sampai akhirnya Kudus dipimpin seseorang yang mau sekadar berkunjung ke Menara tanpa lewat pintu samping atau belakang. Kunjungan ini penting, karena konon bupati akan lengser ketika sowan ke Sunan Kudus. Padahal semua orang tahu, kepala daerah juga lengser sendiri setelah lima tahun atau paling banter 10 tahun seperti bupati sekarang. Toh, tak ada bupati yang absolut, jadi sebaiknya berkunjung saja sebagai iktikad baik menyambut wacana Kota Pusaka Dunia, karena jika benar-benar lengser keprabon, masyarakat akan mengenang sebagai bupati yang peduli khazanah sejarah daerahnya.
Otonomi daerah menciptakan ekses negatif berupa pemimpin setengah dewa yang kebal juga bebal terhadap gejolak di luar daerahnya. Isu-isu nasional dan internasional jarang menjadi perhatian yang melahirkan sebuah kebijakan lokal yang turut diperhitungkan oleh kalangan luar. Ada nilai-nilai luhur yang dapat membekas kepada masyarakat banyak jika inspirasi dari Kudus Kulon dikenal oleh dunia.
Atau setidaknya dalam modus yang banal, Kota Pusaka Dunia akan menjadi ladang proyek dari berbagai kementrian. Dana segara mengucur dan pembangunan di daerah berdenyut.
Kota Pusaka Dunia adalah proyek ambisius yang dengan sinisme bisa dikaitkan dengan peningkatan turisme. Nilai-nilai yang menjadi kriteria UNESCO dan diharapkan memberi manfaat kepada semesta juga mungkin sebuah utopia. Semua sudut pandang negatif bisa saja muncul sebelum pemerintah daerah menapak jalan terjal itu. []

Komentar