MENERAPKAN prinsip kejujuran dalam menulis
nyaris membuat Agustinus Wibowo putus asa menyelesaikan buku Titik Nol. Dalam satu buku terdapat dua
kisah. Satu cerita berkisah petualangannya di negeri-negeri bergejolak seperti
Pakistan, India dan Afghanistan. Satu lagi berkisah tentang tragedi
keluarganya. Kisah yang terakhir menyerupai selingan, karena di antara
cerita-cerita di negeri berselimut debu. Seolah ia menampilkan ironi dalam
dirinya. Seorang petualang yang selalu teringat pulang. Petualang yang
mengendong 'rumahnya'.
Di Balik Buku, Jawa Pos, edisi Minggu (8/11/2015) |
Kisah Agustinus 'terlalu' jujur mengungkapkan
seluk beluk pengalaman personalnya. Tiga seri buku petualangan mulai Garis Batas, Selimut Debu dan Titik Nol
(baru diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris Ground
Zero) memuat kisah perjalanan yang personal. Sudut pandangnya adalah 'aku
yang jujur'. Dalam proses penulisan buku itu, ia kadang menangis. Mungkin
teringat sederet tragedi perjalanan: pencopetan, percobaan pelecehan seksual
dan jatuh sakit diserang Hepatitis. Pengalaman berbalut kenangan ditulis di
kampung halamannya: Indonesia. Hal-hal yang kontras, ironi dan tragedi
diungkapkan jujur. Agustinus dengan jujur melawan 'mati rasa' di tengah
seringnya ledakan di Afghanistan. Ledakan menjelma peristiwa harian yang
berlalu tanpa menimbulkan interupsi dalam kehidupan orang di Afghanistan.
Kejujuran itu juga dijumpai dalam karya-karya
penulis Indonesia yang mengikuti Frankfurt
Book Fair (FBF). Laksmi Pamuntjak, Leila S Chudori dan NH Dini, untuk
menyebut contoh penulis dengan karya yang memuat kejujuran. Tema sentral yang
diangkat dalam diskusi karya Laksmi dan Leila mengenai peristiwa 1965 G30S dan
impactnya. Hari ini kita mendengar kabar Tom Iljas, seorang warga negara Swedia
berdarah Indonesia diusir dari tanah kelahirannya dengan tuduhan yang lemah
terkait kegiatan subversi membuat film peristiwa 1965.
Seri perjalanan Agustinus Wibowo |
Karya fiksi Amba
dan Pulang memunculkan harapan yang
jujur dari orang-orang kekinian yang berkeinginan kuat menggali sejarah
bangsanya. Sekelam dan sebangsat apapun sejarah masa lalu, kita laik
mengetahuinya secara utuh, tanpa intimidasi dan sensor. Sejarah adalah sejarah.
Kalaupun sejarah menjadi kekuatan politik, ini tentu tidak mutlak harus mewujud
sebagaimana di masa lalu. Sejarah peristiwa 1965 disampaikan melalui medium
novel agar menjangkau masyarakat pembaca dari seluruh lapisan. Kejujuran dalam
berkarya mampu mencerahkan dan mengedukasi pembaca. Sejarah terkelam sekalipun
akan menjadi medium penyampaian pesan-pesan moral. Setiap cerita pasti memiliki
pesan moral. Karyanya tidak menggurui, tetapi menjadi suluh di tengah pekatnya
'kabut asap' sejarah.
Terapi Kejiwaan
Menulis dengan jujur juga bagian dari sebuah
terapi kejiwaan yang berujung ketentraman bagi penulis dan pembacanya. Tulisan-tulisan
NH Dini yang ringan dan menohok dalam Dari
Ngaliyan ke Sendowo memuat unsur-unsur kejujuran yakni apa adanya. Ia
bertutur mengenai kehidupannya dari Ngaliyan di Semarang, ke Yogyakarta dan ke
Semarang lagi di Banyumanik. Ia apa adanya menuliskan kisah sedih-senang dalam
perjalanan hidupnya yang sudah sepuh. Sosoknya yang mandiri, jujur dan rajin
sangat kuat digambarkan dalam buku itu. Ketika dia tidak menyenangi sesuatu,
dia ungkapkan dengan terus terang. Demikian sebaliknya ketika menyenangi
sesuatu. NH Dini secara sekilas dalam buku itu terkesan 'merepotkan', tetapi
itulah dirinya kini. Ia menuliskan pengalaman keseharian yang personal itu
secara jujur. Dan justru dari kejujuran itulah, kita memetik moral-moral dari
para penulis yang mengabdikan hidupnya di jalan sunyi.
Tanpa kejujuran, sebuah karya hanya serupa
propaganda politis yang disponsori sebuah era yang memanipulasi sejarah. Kejujuran
adalah syarat bagi lahirnya sebuah karya tulis baik fiksi maupun nonfiksi.
Seorang penulis yang belum berdamai dengan dirinya menerima keadaannya apa
adanya takkan bisa menuntaskan sebuah karya. Karya lahir kejujuran untuk
mengungkapkan hal-hal yang sebetul-betulnya dialami.
Dari para penulis tersebut, kita belajar menulis
dengan jujur terhadap masa lalu baik yang kelam maupun gemilang. []
*Tulisan ini telah dimuat dengan editing seperlunya di rubrik Jawa Pos, Minggu (8/11/2015).
Komentar
Posting Komentar