Rehabilitasi Penyalahguna: Jurus Jitu Mematikan Pasar Narkoba


IBARAT sebuah pasar, Indonesia telah menjadi pasar peredaran gelap narkoba dan obat-obat terlarang. Pemasoknya dari luar negeri dan dari dalam negeri. Konsumennya adalah anak-anak negeri. Selama masih ada penawaran dan permintaan, pemasok akan mengerahkan segala daya dan upaya menyelundupkan barang haram tersebut.

Jurus-jurus penyelundupan dari luar negeri kerapkali dipatahkan oleh aparat penegak hukum. Tapi mereka tak kehilangan akal. Bahkan memanfaatkan manusia yang tak terlibat untuk membawa narkoba seperti tampak dalam kasus Mary Jane (MJ). MJ saat ini ditunda eksekusinya, karena dibutuhkan dalam penyelidikan kasus perdagangan manusia di negaranya, Thailand.

Narkotika telah menjadi musuh bersama oleh seluruh aparat penegak hukum. Pemberantasan narkotika tak memandang bulu. Siapa yang terlibat harus ditindak. Pun tak peduli jika aparat penegak hukum sendiri terlibat, keadilan harus ditegakkan. Upaya maksimal dalam bidang pemberantasan adalah eksekusi narapidana dengan vonis mati. Sudah dua gelombang eksekusi digelar di Pulau Nusakambanga, Cilacap, Jawa Tengah pada tahun ini.

Cara tersebut diyakini mampu menekan peredaran narkotika baik di tingkat pembuat, bandar, pengedar hingga pengguna. Di tengah gencarnya pemberantasan ini, pada tahun 2015 pemerintah menargetkan rehabilitasi 100.000 penyalahguna narkoba. Targetnya adalah pengguna, sehingga levelnya bukan lagi pada sisi pencegahan (nonpengguna), tetapi memutus satu sisi mata rantai dalam pasar gelap narkotika.

Selama ini program rehabilitasi mendapatkan payung hukum yang ramah terhadap penyalahguna, karena digolongkan sebagai korban. Mereka yang terdaftar dalam institusi penerima wajib lapor (IPWL) tidak akan dipidana oleh aparat (biasanya polisi), jika suatu saat terjaring operasi yang menunjukkan dirinya positif sebagai pengguna. Pasalnya, dalam upaya rehabilitasi seperti tahap rawat jalan, seorang pengguna bisa saja urinenya positif, karena meminum obat pengganti yang zatnya masih ada yang berafiliasi dengan zat-zat dalam narkotika. Namun obat tersebut produk legal dari seorang dokter yang ditunjuk menangani rehabilitasi.

Nyalakan Harapan
Gerakan ini merupakan bentuk keseriusan pemerintah mematikan pasar narkotika. Apabila para penyalahguna ini sembuh, bisa dipastikan para pemasok akan gigit jari karena kehilangan pasar. Meskipun jumlah penyalahguna yang ditargetkan rehabilitasi baru sekian persen dari 5,8 jiwa penyalahguna narkoba yang diperkiraan ada saat ini. Tetapi langkah kecil ini serupa nyala lilin yang akan menjadi suluh dan petunjuk jalan dalam kegelapan yang diciptakan para bandar narkoba. Harapan harus dinyalakan meski mendorong 100.000 penyalahguna untuk “bertaubat” bukanlah semudah membalikkan telapak tangan.

Saya mendapatkan kabar gembira dari seorang teman bahwa temannya yang masih sebagai penyalahguna memutuskan untuk mengikuti program rehabilitasi. Saya tidak mengenal langsung teman jauh tersebut, tetapi kabar tersebut datang di tengah upaya pemerintah merehabilitasi penyalahguna. Artinya, kampanye tersebut memiliki dampak langsung bagi penyalahguna untuk pikir-pikir apabila tak masuk program rehabilitasi. Aparat sangat agresif dan bersemangat mengungkap kasus narkoba dan bisa saja, teman jauh tersebut menjadi bagian dari target operasi. Namun, setelah masuk program, dalam hati kecil, saya berharap seluruh program dijalaninya secara sungguh-sungguh.

Saya mendengar program rehabilitasi tidaklah sesingkat seperti orang sakit batuk atau demam. Begitu datang ke dokter, esoknya langsung sembuh. Dampak dari konsumsi narkoba akan mengendap ke dalam jiwa dan raganya. Unsur adiktif (kecanduan), merasa tenang, memompa tenaga dan halusinasi merupakan efek yang dituju penyalahguna. Ibarat lingkaran setan, sekali mencoba sulit untuk lepas dari pengaruh obat terlarang tersebut. Seorang penyalahguna akan mencoba lagi dan lagi, karena memperoleh efek samping yang singkat dan harus dibayar mahal kemudian hari.

Rehabilitasi sesungguhnya adalah upaya untuk menggiring penyalahguna kembali sebagai manusia yang dapat merasa tenang, bahagia, nyaman dan kuat tanpa obat-obat terlarang. Maka, praktik rehabilitasi ini bentuknya beragam dan disesuaikan tim assesment atau penilai yang memutuskan terapi yang tepat untuk penyalahguna. Ini tahap awal yang akan menentukan terapi yang tepat. Cukupkah hanya rawan jalan atau rawat inap atau bahkan menginap selama beberapa bulan di pusat rehabilitasi di Lido, Bogor milik Badan Narkotika Nasional.

Kerja Keras
Gerakan rehabilitasi 100.000 penyalahguna narkoba bisa dikatakan target yang luar biasa apabila dibandingan dengan capaian BNN tahun sebelumnya yang merehabilitasi penyalahguna pada 2014 sebanyak 2.000 jiwa (cnnindonesia.com, BNN Targetkan Rehabilitasi 100 Ribu Pengguna Narkoba, 16/5/2015). Kepala BNN, Komisaris Jenderal Anang Iskandar mengatakan akan menjalin kerjasama dengan berbagai instansi pemerintah untuk memanfaatkan fasilitasnya yang akan dipakai guna menopang megaproyek ini.

Kerja keras merupakan kata kunci merealisasikan niat mulia ini. Pemerintah tak bisa berjalan sendirian. Untungnya, di daerah-daerah telah muncul sosok dari unsur masyarakat dan lembaga yang menginisiasi berdirinya klinik rehabilitasi dengan berbagai pendekatan yang menggabungkan unsur spiritual, mental dan kegiatan fisik. Menurut data Kementrian Kesehatan, terdapat 274 IPWL di seluruh Indonesia yang terdiri dari rumah sakit, puskesmas dan lembaga rehabilitasi milik pemerintah dan swasta. Kementrian Sosial tak kalah gencarnya menyiapkan dana Rp 127 miliar untuk menggoalkan target tersebut (detik.com, Kemensos Kucurkan Dana Rp 127 M untuk Rehabilitasi Korban Narkoba, 15/2/2015).

Hemat penulis, saat ini penyalahguna harus dijangkau dengan beragam pendekatan. Mereka mungkin masih perlu dorongan dari luar dirinya yang meyakinkan untuk menempuh rehabilitasi, karena narkoba telah merusak dirinya. Penyuluhan di berbagai platform media oleh pemangku kebijakan telah digelar untuk menandai upaya serius merehabilitasi. Dalam penyuluhan juga disampaikan mengenai langkah preventih agar menjauhi narkoba, karena bagaimanapun mencegah lebih baik daripara mengobati.

Langkah berikutnya, dapat menerapkan sistem jemput pola bisa untuk menggedor “hati” agar kembali ke jalan yang benar. Misalnya mengetes urine secara acak dan mendadak ke kantong-kantong pergaulan dan peristirahatan para penyalahguna narkoba.

Masyarakat perlu didorong untuk menemukan dan mengarahkan penyalahguna agar menempuh rehabilitasi. Cara-cara proaktif tersebut membantu dari lapisan kesadaran paling bawah untuk kemudian direspon petugas dan mengarahkannya ke klinik.

Rehabilitasi penyalahguna narkoba dengan demikian merupakan tanggungjawab bersama seluruh lapisan masyarakat demi Indonesia yang bersih dari narkoba. Tujuannya selain untuk menyembuhkan juga memutus mata rantai dan mematikan pasar narkoba di Indonesia. Semoga!

Komentar