Oleh: Zakki Amali
Calon anggota legislatif perempuan adalah calon
ibu bagi masyarakat. Secara kodrati perempuan adalah ibu dan penjaga moral bagi
anak-anaknya. Dengan terjun ke gelanggang politik, sifat keibuan itu akan
terbawa. Keramahan dan kepedulian terhadap masyarakat khususnya masalah-masalah
perempuan membuka peluang besar bagi keterpilihan caleg perempuan.
Kesadaran terhadap masalah perempuan memang
bukan domain perempuan saja. Laki-laki yang sensitif gender tidak sedikit.
Tetapi ada bagian yang terkadang laki-laki tidak dapat menjangkaunya. Sebagai
subjek sekaligus objek, perempuan mempunyai kesadaran gender lebih tinggi.
Lelaki tergerak sensifitas gendernya setelah ada dorongan dari perempuan.
Sejarah mencatat posisi perempuan pada awal
abad ke-20 sangat terbelakang. Feodalisme membuat perempuan terdiskriminasi dan
terabaikan. Perempuan remaja menghuni ruang-ruang pingitan untuk nantinya
menikah dengan lelaki yang tak dikenalnya. Kartini adalah pendobrak kebekuan
zaman dan akhirnya direspon oleh kaum laki-laki. Surat-suratnya yang lantang
menentang diskriminasi diterbitkan oleh J. H. Abendanon yang saat itu menjabat
Kepala Departemen Pendidikan Hindia Belanda. Suami Kartini juga memberikan
ruang agar ide-ide pendidikan pembebasannya terejawantahkan.
Dalam sejarah tersebut sudah tergambar dengan
jelas api kesetaraan gender disulut oleh seorang perempuan yang menjadi korban
sistem feodalisme. Suara lantang dari sebuah bilik keterbelakangan menjadi
pembuka bagi gerakan perempuan Indonesia.
Permasalahan yang dihadapai perempuan abad ke-21
ini secara umum telah bergeser seiring perkembangan zaman. Masalah perkawaninan
dan pendidikan yang diperjuangkan aktivis perempuan abad ke-20 telah mendapat
perhatian serius dari pemerintah. Pendidikan dapat dikatakan telah menjangkau
semua warga dan angka buta huruf pada perempuan tak setinggi dahulu. Perempuan
kini dapat menentukan sendiri laki-laki yang akan dinikahi juga dapat menolak
bila tak suka.
Jebakan Kuota
Pemerintah telah memberikan angin segar terhadap
pengarusutamaan gender di parlemen dengan kuota 30 persen caleg perempuan pada
setiap partai politik. Peluang menduduki jabatan politik bagi perempuan lebih
besar. Perempuan diberikan kesempatan menjadi pengambil kebijakan bagi kaumnya
sendiri. Peluang ini merupakan buah dari kerja keras secara kontinu para
aktivis pergerakan perempuan selama satu abad yang diawali Kartini dan disambut
pada masa kemerdekaan lalu era reformasi (lihat: Cora Vreede-De Stuers, Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan
Pencapaian, 2008).
Akan tetapi kuota ini dapat menjadi jebakan
bagi gerakan perempuan Indonesia apabila tak dimanfaatkan secara maksimal.
Kuota ini diharapkan tidak membuat gerakan perempuan terlena dan hanya asal
mangaet perempuan menjadi caleg. Caleg-caleg perempuan yang mengisi ruang
tersebut seharusnya mempunyai basis pengetahuan politik secara mumpuni dan
mempunyai militansi dalam memperjuangkan solusi mengatasi permasalah perempuan.
Sederet caleg perempuan yang muncul di permukaan menyiratkan optimisme juga
pesimisme. Ketika melihat selebritas perempuan berdondong-bondong masuk
gelanggang politik, kita tentu bertanya mengenai basis pendidikan politiknya.
Prasangka buruk muncul, jangan-jangan caleg perempuan itu hanya sebagai mesin
peraup suara yang masih mengambang (swimming votter). Dengan popularitasnya
yang tak terbatas ruang dan waktu telah terbayangkan suara besar bakal
diperoleh.
Kekhawatiran itu beralasan apabila kita melihat
anggota legislatif perempuan dalam pusaran korupsi. Cukuplah Angelina Sondakh
menjadi amsal dan pelajaran bagi kita mengenai masa depan caleg perempuan tanpa
basis pendidikan politik. Kita menaruh harapan terhadap pencalonan kembali
anggota DPR perempuan seperti Nurul Arifin, Rachel Maryam, Rieke Diah Pitaloka,
Nova Riyanti Yusuf dan Eva Kusuma Sudari. Apabila terpilih kembali diharapkan
mampu menabalkan militansinya untuk memperjuangan kesetaraan gender di segala
bidang.
Isu Penting
Isu penting perlu dikawal para caleg perempuan
jika nanti terpilih adalah tenaga kerja wanita dan kesehatan perempuan. Sesuai
dengan target pembangunan milenium atau millenium development goals (MDG’s)
standar AKI pada tahun 2015 adalah 102 per 100 ribu kelahiran hidup. Berdasarkan data
dari Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, AKI pada 2013 mencapai
359 per 100 ribu kelahiran. Jumlah ini meningkat dari tahun 2012 dengan 228 per
100 ribu kelahiran hidup (antaranews.com, edisi 13/3/2014). Kondisi AKI pada
tahun 2010 mendekati standar MDG’s yakni 108 per 100 ribu kelahiran hidup, tetapi
meningkat pada tahun-tahun berikutnya.
Mengurangi kematian ibu secara drastis dalam
satu tahun sesuai standar MDG’s merupakan hal mustahil. Dengan melihat tren
kenaikan AKI, tampaknya pesimis terget tergapai. Namun dengan kemauan politik
para anggola legislatif perempuan diharapkan setidaknya mampu menurunkan AKI
atau bahkan mendekati standar MDG’s. Komitmen caleg perempuan mengawal
kebijakan penurunan AKI di masing-masing daerahnya akan memperkuat upaya
pemerintah dalam mengintervensi penurunan AKI.
Isu keselamatan tenaga kerja wanita di luar
negeri menghangat kembali melalui Satinah. TKW asal Kabupaten Semarang ini
akhirnya bebas dari hukuman mati setelah pemerintah membayar diyat senilai Rp
21,2 miliar. Menurut Migrant Care masih ada Satinah-Satinah lainnya di luar
negeri yang terancam hukuman mati. Lembaga advokasi buruh migran itu mencatat
sejak 2013 ada 265 TKI yang terancam hukuman mati. Mulai dari persoalam gaji
sampai penganiayaan.
Posisi TKW lebih riskan di banding TKI
laki-laki. Solusi mencegah pengiriman TKW antara lain dengan pemberdayaan
perempuan dari berbagai bidang, sehingga di tanah kelahiran sendiri mendapat
pekerjaan. Isu-isu tersebut selaiknya menjadi prioritas caleg perempuan apabila
terpilih. Sebab, dampak dari kegagalan mengatasi AKI dan buruh migran akan
membuat tatanan masyarakat berubah. Apabila ibu meninggal setelah melahirkan
dan ibu pergi ke luar negeri meninggalkan anak, maka anak kehilangan sosok yang
menjaga moralitasnya.
Caleg perempuan sejatinya adalah ibu bagi masa
depan anak-anak bangsa. Ibu yang militan dengan mengawal dan memperjuangkan
program kesertaraan gender. Program yang membuat martabat perempuan terangkat,
sehingga tergapai kemajuan bangsa. []
Komentar
Posting Komentar