Buka Luwur, Pesta Rakyat Warga Kudus*


GUMPALAN asap bercampur uap memenuhi ruang dapur di aula Yayasan Masjid, Menara, dan Makam Sunan Kudus, Kamis (14/11) tengah malam, di Jalan Sunan Kudus. Bara api telah dipadamkan pertanda perewang di dapur "darurat" ini kembali mengangkat nasi dari dandang besar berdiameter satu meter ini.
Perewang perempuan membungkus nasi 
Nasi terakhir yang ditanak ini langsung diangkat perewang yang menyela di antara tungku dan enam belas dandang. Sebagian perewang menutup mata dengan kain, kaca mata putih sampai kaca mata renang untuk menghindari uap dan asap yang menusuk mata.
Sumarto (45), satu di antara puluhan perewang bagian dapur bergegas mengangkat wakul berisi nasi panas lalu menumpahkan ke papan memanjang. Sesekali, dia meratakan gundukan nasi di papan agar mudah didinginkan. Dua kipas angin besar berputar-putar mengusir uap panas dari nasi di setiap ujung papan. "Tadi siang sempat pusing, terus minta obat, hilang pusingnya. Tapi waktu malam ini malah gigi rasanya ada yang mau copot," kata warga RT 6 RW 2 Desa Prambatan Lor Kecamatan Kaliwungu ini, usai rewang.
Selama sehari penuh bersama 25 orang dari kampungnya, Sumarto bertugas mentanak dan mendinginkan nasi. Menurut panitia, beras yang ditanak lebih kurang mencapai 5,8 ton. Khusus bagian memasak nasi melibatkan 54 orang. Beras sumbangan itu dimasak dengan api dari kayu dalam beberapa gelombang.
Sumarto merupakan 'orang lama' yang andil dalam hajat besar warga Kudus ini. Sejak umurnya masih 27 tahun, pria ini telah ikut rewang. Seperti halnya Muawanah (45) yang selama 25 tahun atau sudah 25 kali berturut-turut mengaku selalu berpartisipasi perewang buka luwur. Anak pertamanya, Aridatul Ahadiyah (28) yang tengah hamil ikut bersamanya membungkus nasi. "Saya baru pertama kali ikut ibu. Pingin saja," kata Ahadiyah yang telah memiliki satu anak ini.
Selama empat jam sejak pukul 24.00 itu, pembungkus nasi bekerja membungkus nasi dan daging yang dimasak 'uyah asem' ini. Gelombang pertama telah selesai, setelah melewati empat jam. Sebanyak 125 pembungkus nasi yang semuanya perempuan mengisi setiap shift.
Muawanah dan rekan-rekannya pada shift kedua itu merupakan warga luar Kelurahan Kauman atau sekitar Makam Sunan Kudus. Tetapi, panitia telah membuat surat undangan kepadanya, sehingga menjadi semacam boarding pass untuk ikut jadi perewang. "Kalau tidak dapat undangan ya tidak datang. Tapi bisa bawa undangan tetangga yang tidak datang agar bisa tetap ikut rewang," kata ibu bercucu tiga ini.
Panitia memang menyebar undangan untuk membatasi membludaknya perewang. Undangan ini sekaligus menjadi acuan dalam menghitung nasi yang dibungkus. Prioritas pertama yang menjadi perewang warga Kauman. Setelah semua terlibat, warga di luar Kauman diundang.
Keberkahan
Menjadi perewang dalam pengakuan mereka, merupakan panggilan hati dan kehormatan. Muawanah mengaku menjadi jujukan tetangganya yang meminta nasi "Jangkrik". Perewang ini setelah menuntaskah pekerjaannya mendapat sebuah kupon yang bila ditukarkan mendapat nasi berukuran besar atau disebut berkat. "Istilahnya kita rewang acaranya Mbah Sunan Kudus. Harapannya biar hidup berkah," aku Muawanah.
Sumarto mengungkapkan hal kurang lebih sama mengenai motivasinya jadi rewang. Ada kepercayaan yang dipegang teguh mengenai "keberkahan" dalam Buka Luwur. Baik dari nasinya maupun keiikutsertaannya menjadi rewang. Kepercayaan ini antara lain terlihat dari nasi tersebut yang dijual kembali di Jalan Sunan Kudus atau sekitar komplek Masjid Menara. Warga memburu nasi yang dipercaya ada keberkahannya.
Jalanan padat itu beberapa kali tersendat setelah sejumlah pesepeda motor dan pengendara mobil berhenti di tengah jalan. Lambaian Nasi Jangkrik menghentikan laju dan tawar menawar pun terjadi. Hamidin Wahyudi (18) mematok harga Rp 10 ribu sebungkus yang didapat dari antrean sekitar sejam. Hari itu, dia memperoleh tiga bungkus selama tiga kali antre sejak usai Subuh. Dua nasi dijual, satu nasi dimakan sendiri. "Sudah lama jualan nasi jangkrik. Sejak sekolah MI (madrasah ibtidaiyah-red)," katanya.
Harga yang dipatok bisa ditawar menjadi Rp 7 ribu atau Rp 8 ribu atau Rp 15 ribu dapat dua bungkus. Penjual lain, Denny Fariska (20), mengatakan harga pasaran perbungkus sebelumnya Rp 5 ribu, tetapi pada 2011 naik menjadi dua kali lipat Rp 10 ribu. "Ya bukan harga mati, masih bisa ditawar," ucapnya.
Uang yang dikumpulkan dibuat jajan. Rozin (16), penjual lain satu kelompok dengan Denny dan Hamidin, mengaku mendapat uang Rp 30 ribu. Dia mendapat empat nasi setelah antre beberapa kali putaran.
Di gang sempit sekitar Masjid Menara Kudus, warga berkerumun sebelum Subuh agar bisa memperoleh nasi dengan cepat. Panitia membentuk satuan tugas khusus dibekali bambu untuk mengontrol antrean agar tidak menumpuk di satu titik. Aksi dorong dan desak-desakan seringkali tak terhindarkan. "Kalau gesit di antrean bisa dapat lebih dari lima putaran," imbuh Rozin.
Para pembeli tidak repot lagi mengantre nasi dan hanya menganti dengan harga yang tergolong murah jika dibandingkan harus ikut antre dan desak-desakan. Nasi yang telah didoakan ini akhirnya bisa dinikmati oleh semua orang dengan berbagai upaya untuk mendapatkannya.
Pesta Rakyat
Lepas dari pro dan kontra mengenai kepercayaan masyarakat soal keberkahan nasi, Buka Luwur ini merupakan sebentuk pesta rakyat Kudus. Dari berbagai kalangan dan golongan ikut menyengkuyung.  Menurut Ketua YM3SK, KH Em Najib Hasan, buka luwur ini melibatkan lebih kurang 1.400 orang lintas generasi dan latar belakang. Mulai pelajar, guru, buruh, pedagang, tukang parkir, hingga tukang becak ikut nyengkuyung dan menikmati nasi berkat. Orang-orang yang terlibat ikut secara suka rela itu, tidak disediakan akomodasi dari panitia, kecuali sebungkus nasi.
Buka luwur ini, ujar Kiai Najib bukan memeringati hari kewafatan Sunan Kudus Dja'far Shadiq atau lazim disebut haul. Tetapi hanya menganti luwur atau kain mori yang ada di sekitar makam. Dia belum terang mengenai sejarah awal buka luwur ini hingga akhirnya menjadi agenda rutin ini. "Waktu kewafatan Sunan Kudus belum diketahui secara pasti," katanya.
Kiai Najib, mengungkapkan bahwa buka luwur ini mirip peristiwa demokrasi. Pihaknya hanya mengolah dan menyalurkan kembali bahan makanan dari masyarkat kepada masyarakat. Panitia tidak meminta dan mengajukan proposal bahan baku mulai dari hewan, beras, dan uang. "Semua suka rela diberikan warga. Perlu dicatat panitia tidak pernah meminta. Ini murni dari pemberian masyarakat," katanya.
Pemberian warga terkumpul 16 ekor kerbau dan 70 ekor kambing. Jumlah sumbangan hewan ini menurutnya paling besar selama Kiai Najib menjadi panitia. Jumlahnya besar jika dibandingkan tahun lalu. Panitia membuat bungkusan nasi sebanyak 28.300 berukuran kecil dan 1.874 berukuran kranjang atau berkat. "Kami tidak membatasi penyumbang. Warga agama lain juga ada yang ikut menyumbang. Ini kan pesta rakyat, semua boleh menyumbang dan kami salurkan kembali kepada seluruh warga," ujarnya.
Setelah rampung buka luwur ditandai dengan pemasangan kembali kain mori di Makan Sunan Kudus, biasanya terdapat sejumlah sisa bahan baku. Mulai beras hingga bumbu dapur. Kelebihan tersebut biasanya dibagikan ke sejumlah panitia buka luwur di makam sesepuh yang tersebar di Kudus. Sebab, saat bulan Muharram atau Suro sejumlah makam sesepuh diperingati. Pengurus Yayasan Masjid dan Makam Sunan Muria juga menggelar buka luwur pada 15 Muharam atau pada Selasa (19/11) pukul 06.30. Jika dihitung pada Muharram ini, mungkin ada belasan pengurus makam sesepuh yang menggelar buka luwur. Dengan demikian, akan ada banyak lokasi pesta rakyat di Kudus.

*tulisan ini juga dimuat di Suara Merdeka Halaman Suara Muria, 18 Nopember 2013.

Komentar