Oleh : Zakki Amali
Perdebatan untuk apa sastra ditulis telah lama menggema dari ruang penyemaian nobel sastra. Secara garis besar terpecah menjadi dua. Golongan pertama bermaksud menulis sastra untuk kepentingan estetis. Tak ada propaganda di dalamnya. Golongan kedua, lebih mengendepankan daya dobrak yang dimunculkan sastra. Sastra ditulis untuk mendobrak sesuatu.
Rodhi As'ad dalam pengantar Pengakuan Para Sastrawan Dunia Pemenang Nobel (2006) mengisahkan muara dari sastrawan dunia tersebut. Golongan pertama, menekankan berpulangnya sastra pada sastra. Karena mereka hidup pada pemerintahan lalim, diktator. Mereka tidak ingin terjebak dengan kekuasaan (politik). Sebaliknya mereka mendamba kebebasan dalam bersastra.
Golongan kedua, mendudukan sastra sebagai alat perubahan sosial. fiksi yang ditulis sarat muatan tertentu yang mengarah pada daya dobrak. Karya ini tendensinya kuat dalam membela hak-hak rakyat. Dalam konteks buku Yudi Latif ini, sastra yang dikajinya berada diposisi ini.
Imajinasi Kemerdekaan
Sekujur bagian dalam buku Yudi membincang sastra sebagai alat perubahan sosial. lacakannya dimulai dari kisah perjuangan kaum pribumi membentuk imajinasi kemerdekaan. Yudi mengisahkan bahwa gairah kemerdekaan berawal dari imajinasi kemajuan "bangsawan pikiran" yang ditulis Abdul Rivai pada tahun 1902. Rivai menilai bangsawan pikir merupakan rakyat biasa, tetapi mempunyai kadar intelektualitas tinggi dan loyal terhadap bangsanya. Ini kebalikan dari "bansawan usul" yang hanya menerima gelar bangsawan dari warisan leluhurnya (hlm. 8-9).
Pemahaman sastra oleh Yudi tidak sebatas bentuk karya (novel, cerpen, puisi, sajak, dll), melainkan dalam kerangka menggali hakikat sastra sebagai sebuah imajinasi kata yang tak beruang dan berwaktu. Maka, ketika dipahami demikian, sastra yang hadir di sini adalah perjuangan kata melawan kolonialisme. Pada bagian awal dari buku ini imajinasi kebebasan sangat kentara, dimana kata melahirkan multiefek yang luar biasa dalam etos kemerdekaan.
Kata sebagai bagian yang menyusun sastra memperlihatkan kesaktiannya ketika menyebar ke seluruh pelosok negeri. Media massa (koran) sebagai juru bicara kata, dinaiki oleh imajinasi kemerdekaan yang digerakkan oleh tokoh-tokoh pendiri bangsa (founding father). Soekarno, M. Hatta, Sutan Sjahrir, M. Natsir adalah tokoh yang gigih bergerak di balik layar media massa menyuarakan kemerdekaan. Kesatuan visi dan misi merobohkan kolonialisme dibangun oleh kerja wacana dan kata (hlm. 13).
Sastra (kata) mempunyai apa yang dinamakan Georg Lukacs, dikutik Ignas Kleden (2005: 9), sebagai efek pantulan. Sastra menimbulkan impresi atau pengaruh tertentu kepada masyarakat yang menikmati sastra. Sehingga menimbulkan reaksi baku dalam kesehariannya. Hal ini tercermin dari keberadaan arus kata pada awal abad 19.
Penyeimbang
Realitas abad 20 membuat kajian sastra Yudi mengarah pada hal baru. Ketika kedaulatan bangsa Indonesia telah direngut, sastra mempunyai posisi baru sebagai penyeimbang pemerintahan (kekuasaan). Yudi mengungkapkan itu sebagai bagian dari posisi minyak yang tak bisa menyatu dengan air.
Kekuasaan tak bisa dipisahkan dari politik, karena dengan politik kuasa itu tercapai. Maka, sastra hadir sebagai penyeimbang atau kontrol sosial dari kekuasaan. Bahwa kekuaaan cenderung korup (tends to corrupt). Sehingga sastra memberikan sentilan-sentilan terhadap prilaku penguasa. Ini juga memberikan catatan bagi sastra itu sendiri agar tak terjebak pada ruang kuasa-politik. Sehingga independensinya tetap terjaga, sebagai penyeimbang kekuasaan (hlm. 75-76).
Sastra sebagai penyeimbang, berarti mengambil jarak dari pusara kuasa-politik. Politik didekati sastra bukan untuk digeluti, tetapi mengambil sari pati mutiara kehidupan. Kelahiran karya sastra juga banyak terinspirasi dari peristiwa politik atau mempunyai tendensi politik. Pada titik ini marwah kesastraaan seorang sastrawan dipertaruhkan dalam menjaga independensinya.
Transformasi
Harapan terbesar Yudi dalam kajian sastra adalah bangkitnya bangsa Indonesia yang mempunyai khazanah sastra-kata ini dari keterkungkungan diri. Sastra menawarkan berjibun daya dorong dan etos kemajuan. Yudi memformulasikan tiga transformasi yang harus dilakukan oleh rakyat Indonesia untuk bangkit (hlm. 141).
Pertama, sarat kebangkitan adalah melakukan transformasi mitos. Fase ini sebagai penghapusan mitos bahwa unsur senioritas adalah segalanya dalam kepepemimpinan. Maka, kaum muda harus berada di garda terdepan dalam gerak bangsa, sebagaimana tokoh pendiri bangsa yang masih berumur muda, tetapi menjadi pemimpin.
Kedua, adanya transformasi pemahaman (logos). Pemuda era itu erat kaitannya dengan tingginya kadar pendidikan, sehingga muncul istilah pemuda-pelajar. Realitas historis ini ditransformasikan pada pemuda saat ini untuk memperbaiki daya insaninya. Kemajuan bangsa tidak cukup dengan hanya mengandalkan sumber daya alam saja. Pemuda dengan segudang ilmu pengetahuannya merupakan tali yang kokoh mengikat kemajuan bangsa. Ini merupakan lanjutan dari fase pertama. Pemuda harus sadar pendidikan.
Ketiga, adalah transformasi etos. Etos relegius dan kreatifitas harus ditumbuhkan mengantikan sistem etos yang usang (tak jujur, malas, inferior, dll). Relegiusitas mengada sebagai kebangkitan batin. Manusia terdiri dari elemen lahir (fisik/tubuh), dan batin (jiwa/nafs). Relegiusitas hadir mengisi kekosongan isi jiwa. Manusia yang berisi jiwanya, akan terlihat kokoh dalam mengarungi kehidupan. Kedalaman jiwanya menangkap isyarat zaman sangat mudah, sehingga menimbulkan kepekaan terhadap alam sekitarnya.
Transformasi etos kreatif harus dilakukan karena persaingan global mensyaratkan kreatifitas. Perkembangan ekonomi saat ini bukan lagi berorientasi pada penguasaan tanah dan tenaga manusia, melainkan bersandar pada intelegensia, pengetahuan, dan kreativitas (hlm. 150). Ketiga tranformasi ini merupakan prasyarat budaya kebangkitan yang didedahkan Yudi.
Memecah Kebekuan
Meski kesaktian sasrta telah terpampang, tampaknya harus menyerah kepada logika pendidikan yang hanya menempatkan sastra pada nomor kesekian. Pesimisitas muncul disaat jam pengajaran bahasa Indonesia. Yang lebih dipentingkan adalah tata bahasa yang benar, ejaan yang disempurnakan (EYD), serta teknis struktur kalimat, dsb (hlm. 159)
Kegelisahan itu muncul dari Putu Wijaya pada epilog buku ini. Sastra di tangan pengajar kehilangan orientasinya, untuk apa sastra diajarkan. Kegamangan ini sebetulnya, telah dijawab oleh Yudi secara mendalam. Tetapi sayang, toh jika buku ini dilewatkan kebekuan sastra di dunia pendidikan menjadi-jadi.
Strategi memecah kebekuan dengan memerlihatkan dahsyatnya pemikiran sastra ini laik diapresiasi dan diakrabi oleh, tidak hanya para pendidik, tetapi masyarakat luas. Kajian sastra yang terpancar dari ulasan Yudi membawa penghargaan akan tradisi literer yang melingkupi sastra. Sastra menjadi barang berharga dalam dinamika peradaban manusia.
Meski buku ini tersusun dari beberapa makalah, pengantar buku, atau ulasan lainnya, tetap merupakan karya yang utuh membincang sastra dari perspektif kebangkitan bangsa. Yudi telah berhasil membangkitkan memori kebangkitan bangsa yang jaraknya puluhan tahun untuk dihadirkan di depan pembaca, sebagai sebuah kajian kontribusi sastra bagi bangsa.
Data Buku
Judul : Menyemai Karakter Bangsa : Budaya Kebangkitan Berbasis Sastra
Penulis : Yudi Latif
Penerbit : Buku Kompas
Halaman : XXIV+184 halaman
Cetakan : November, 2009
Komentar
Posting Komentar