Oleh : Zakki Amali
Narasi kepahlawanan Indonesia tak dapat dilepaskan dari kiprah kaum hawa. Sejarah mencatat bahwa tak sedikit perempuan yang ikut mengorbankan nyawanya membela bangsa. Terminologi pahlawan dalam artian peperangan ataupun sumbangsih terhadap kemajuan bangsa telah dilakukan oleh mereka. Kita mengenal sederet nama, seperti Nyai H. Siti Walidah Ahmad Dahlan, R.A Kursiah Retno Edhi, Hj. Rasuna Said, Maria Walanda Marawis, Raden Dewi Sartika.
Di bawah rentetan ledakan bom, letupan senjata, dentuman meriam perempuan berjibaku melibas musuh bangsa. Perempuan meneteskan darah, tangis, sekaligus air susu untuk bangsa ini. Di sini fungsi perempuan tak sekadar menjadi seorang ibu yang baik. Lebih dari itu, perempuan meleburkan akumulasi keakuan yang meliputi suami, anak, orang tua, sanak famili, untuk kemudian menjadi bagian dari pergerakan melawan penjajah.
Perempuan mempunyai double body. Sisi tubuh satu adalah untuk publik (bangsa), dan sisi satunya adalah privat (keluarga). Di satu sisi ia menjadi ibu bagi keluarganya, di sisi lain ia menjadi ibu yang memerjuangkan bangsa. Perempuan pejuang adalah mereka yang mampu menyeimbangkan dua sisi tubuhnya dalam ritme perjuangan bangsa. Mereka inilah yang akan membawa panji kesetaraan terhadap nada minor tentang perempuan.
Perempuan bukan hanya konco wingking yang mengandaikan perannya berada pada ruang privat yang tak jauh dari laku masak, manak, dan macak. Perempuan adalah elemen pembangun bangsa yang sangat penting. Ketiadaan perempuan dalam derap pembangunan bangsa adalah masalah besar.
Soekarno dalam Sarinah (1963 : 5) menegaskan bahwa soal perempuan adalah soal masyarakat. Pembangunan pasca kemerdekaan menurutnya tidak akan berjalan selaras jika tidak mengerti soal perempuan. Maka, gerakan yang dibangun Soekarno di awal era kemerdekaan adalah pemberdayakan perempuan melalui kursus-kursus yang terkait ketrampilan dasar perempuan yang menjadi trend pada waktu itu.
Dalam Konteks wacana Soekarno mendedahkan dalam buku itu adalah membangkitkan spirit kesetaraan. Perempuan jangan hanya berkutat dalam ruang privat. Indonesia menanti perempuan-perempuan pejuang yang berjibaku pada ruang publik. Perempuan harus berjuang, turun di laga peperangan, pemerintahan, pelyanan publik, dan sebagainya.
Melawan
Fedwa El Guindi dalam Jilbab, Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan (2005 : 269-270) mengisahkan perjuangannya melawan kolonialisme Perancis terhadap Al Jazair. Isu perlawanan berkisar pada pertaruhan jilbab. Fedwa berteriak lantang menolak tekanan Perancis untuk melepas jilbab. Jibab dalam tradisi Al Jazair menjadi akar kebudayaan. Ketercerabutan jilbab dari tradisi Al Jazair adalah awal keruntuhan. Jilbab adalah lambang kehormatan. Dan itu harus diperjuangkan, meski di bawah tekanan penjajah.
Reproduksi makna perempuan dalam konteks kepahlawanan adalah perjuangan. Tak ubahnya dengan laki-laki, perempuan pun turut andil dalam kemerdekaan dan kemajuan bangsa dari pelbagai hal.
Narasi kesetaraan yang dedahkan Fedwa tak ubahnya seperti yang dilakukan R.A Kartini pada paruh akhir abad 19. Kartini berada pada tekanan budaya patriarki yang sakral dan sarat kuasa. Hidup sebagai anak seorang Bupati Jepara membuat kisah perjuangan kesetaraan Kartini begitu sulit. Impian Kartini untuk menjadi guru nyaris tercapai ketika Pemerintah Belanda memberikan kesempatan beasiwa belajar di Sekolah Guru di Belanda. Kartini hanya bisa manut ketika ayahnya melarangnya, untuk kemudian dinikahkan dengan Raden Adipati Joyodiningrat, seorang Bupati di Rembang.
Kondisi sosiologis dan psikologis yang menekan gerak perempuan membuat Kartini semakin gesit menancapkan bendera kesetaraan. Dengan bekal pribadi, di Jepara dan Rembang Kartini merintis sekolah yang didedikasihkan untuk perempuan. Ajaran Kartini sangat sederhana. Diawali dengan pemberdayaan perempuan, seperti pembekalan ketrampilan menjahit, menyulam, memasak, dan lainnya. Bekal itu adalah pintu bagi kemandirian seorang perempuan. Sebuah rintisan jalan menapaki ruang publik yang masih tabu.
Kartini adalah lakon heroisme ibu. Pahlawan perempuan dalam narasi besar bangsa Indonesia yang selalu tampak nomor sekian. Agak sesuai dengan tesis sejarah bahwa sejarah hanya milik orang menang. Dan perempuan berada pada pihak yang kalah. Dominasi kuantitas dan kualitas jauh tertinggal dengan sosok kepahlawanan bangsa ini yang tiga perempat lebih adalah laki-laki.
Tantangan
Fakta ini merupakan tantangan baru menepis stigma-stigma satir tentang ibu yang serba lemah. Kepahlawanan perempuan adalah lambang kebangkitan untuk terus melanjutkan spirit perlawanan terhadap kebengisan zaman. Setiap zaman mempunyai masalah dan pemecah masalah tersendiri.
Abad 19 adalah masa perintisan bangsa yang berdarah-darah. Maka yang dibutuhkan adalah mereka yang dapat memanggul diri turun di medan laga. Era milenia ini merupakan salinan dari era sebelumnya. Perjuangan tetap digaungkan, namun konteksnya yang lain.
Perempuan mempunyai seabrek agenda heroik kekinian yang harus dituntaskan. Komodifikasi perempuan dalam berbagai bentuk, halus ataupun kasar menjadi agenda penting. Perdagangan perempuan terus menanjak setiap tahun, kekerasan rumah tangga banyak yang menimpa perempuan, pelecehan seksual pada perempuan TKI, dan kisah minor perempuan lainnya.
Penjajahan tak lagi kasat mata. Ia menyelusup dalam nalar kehidupan. Perempuan seringkali berada pada titik lemah untuk mengatakan “tidak” pada penjajahan. Perjuangan perempuan kekinian adalah melawan penjajahan terhadap harkat dan martabat perempuan yang sering diinjak-injak. Narasi tentang ibu tak lagi bersifat minoritas dengan nada sumbang yang diasosiasikan dengan kelemahan fisik, lamban, dan entitas yang selalu tertindas. Narasi tentang ibu melampaui domain-domain bangsa. Ibu menjadi kuat dan tegak menghadapi zaman.
Hari Ibu ini adalah momentum besar menegakkan sendi-sendi perjuangan dan kepahlawanan pada dalam detak jantung kaumnya. Perempuan harus senantiasa menyambung lidah perjuangan dan kepahlawanan di bangsa ini. Agenda-agenda besar yang harus dilawan begitu banyak. Sekecil apapun perjuangan yang dilakukan jubah kepahlawanan laik disandang. Hari ibu adalah tantangan dan peluang bagi perempuan untuk menyuarakan keadilan, kesetaraan, dan perjuangan melawan segala bentuk penjajahan terhadap perempuan. Ibu harus menguarkan aroma perjuangan dan kepahlawanan mengiringi keberlangsungan bangsa ini, tidak sekadar cukup berada dalam ranah domestik.
digunting dari Jawa Pos/Opini, 22 Desember 2009
Narasi kepahlawanan Indonesia tak dapat dilepaskan dari kiprah kaum hawa. Sejarah mencatat bahwa tak sedikit perempuan yang ikut mengorbankan nyawanya membela bangsa. Terminologi pahlawan dalam artian peperangan ataupun sumbangsih terhadap kemajuan bangsa telah dilakukan oleh mereka. Kita mengenal sederet nama, seperti Nyai H. Siti Walidah Ahmad Dahlan, R.A Kursiah Retno Edhi, Hj. Rasuna Said, Maria Walanda Marawis, Raden Dewi Sartika.
Di bawah rentetan ledakan bom, letupan senjata, dentuman meriam perempuan berjibaku melibas musuh bangsa. Perempuan meneteskan darah, tangis, sekaligus air susu untuk bangsa ini. Di sini fungsi perempuan tak sekadar menjadi seorang ibu yang baik. Lebih dari itu, perempuan meleburkan akumulasi keakuan yang meliputi suami, anak, orang tua, sanak famili, untuk kemudian menjadi bagian dari pergerakan melawan penjajah.
Perempuan mempunyai double body. Sisi tubuh satu adalah untuk publik (bangsa), dan sisi satunya adalah privat (keluarga). Di satu sisi ia menjadi ibu bagi keluarganya, di sisi lain ia menjadi ibu yang memerjuangkan bangsa. Perempuan pejuang adalah mereka yang mampu menyeimbangkan dua sisi tubuhnya dalam ritme perjuangan bangsa. Mereka inilah yang akan membawa panji kesetaraan terhadap nada minor tentang perempuan.
Perempuan bukan hanya konco wingking yang mengandaikan perannya berada pada ruang privat yang tak jauh dari laku masak, manak, dan macak. Perempuan adalah elemen pembangun bangsa yang sangat penting. Ketiadaan perempuan dalam derap pembangunan bangsa adalah masalah besar.
Soekarno dalam Sarinah (1963 : 5) menegaskan bahwa soal perempuan adalah soal masyarakat. Pembangunan pasca kemerdekaan menurutnya tidak akan berjalan selaras jika tidak mengerti soal perempuan. Maka, gerakan yang dibangun Soekarno di awal era kemerdekaan adalah pemberdayakan perempuan melalui kursus-kursus yang terkait ketrampilan dasar perempuan yang menjadi trend pada waktu itu.
Dalam Konteks wacana Soekarno mendedahkan dalam buku itu adalah membangkitkan spirit kesetaraan. Perempuan jangan hanya berkutat dalam ruang privat. Indonesia menanti perempuan-perempuan pejuang yang berjibaku pada ruang publik. Perempuan harus berjuang, turun di laga peperangan, pemerintahan, pelyanan publik, dan sebagainya.
Melawan
Fedwa El Guindi dalam Jilbab, Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan (2005 : 269-270) mengisahkan perjuangannya melawan kolonialisme Perancis terhadap Al Jazair. Isu perlawanan berkisar pada pertaruhan jilbab. Fedwa berteriak lantang menolak tekanan Perancis untuk melepas jilbab. Jibab dalam tradisi Al Jazair menjadi akar kebudayaan. Ketercerabutan jilbab dari tradisi Al Jazair adalah awal keruntuhan. Jilbab adalah lambang kehormatan. Dan itu harus diperjuangkan, meski di bawah tekanan penjajah.
Reproduksi makna perempuan dalam konteks kepahlawanan adalah perjuangan. Tak ubahnya dengan laki-laki, perempuan pun turut andil dalam kemerdekaan dan kemajuan bangsa dari pelbagai hal.
Narasi kesetaraan yang dedahkan Fedwa tak ubahnya seperti yang dilakukan R.A Kartini pada paruh akhir abad 19. Kartini berada pada tekanan budaya patriarki yang sakral dan sarat kuasa. Hidup sebagai anak seorang Bupati Jepara membuat kisah perjuangan kesetaraan Kartini begitu sulit. Impian Kartini untuk menjadi guru nyaris tercapai ketika Pemerintah Belanda memberikan kesempatan beasiwa belajar di Sekolah Guru di Belanda. Kartini hanya bisa manut ketika ayahnya melarangnya, untuk kemudian dinikahkan dengan Raden Adipati Joyodiningrat, seorang Bupati di Rembang.
Kondisi sosiologis dan psikologis yang menekan gerak perempuan membuat Kartini semakin gesit menancapkan bendera kesetaraan. Dengan bekal pribadi, di Jepara dan Rembang Kartini merintis sekolah yang didedikasihkan untuk perempuan. Ajaran Kartini sangat sederhana. Diawali dengan pemberdayaan perempuan, seperti pembekalan ketrampilan menjahit, menyulam, memasak, dan lainnya. Bekal itu adalah pintu bagi kemandirian seorang perempuan. Sebuah rintisan jalan menapaki ruang publik yang masih tabu.
Kartini adalah lakon heroisme ibu. Pahlawan perempuan dalam narasi besar bangsa Indonesia yang selalu tampak nomor sekian. Agak sesuai dengan tesis sejarah bahwa sejarah hanya milik orang menang. Dan perempuan berada pada pihak yang kalah. Dominasi kuantitas dan kualitas jauh tertinggal dengan sosok kepahlawanan bangsa ini yang tiga perempat lebih adalah laki-laki.
Tantangan
Fakta ini merupakan tantangan baru menepis stigma-stigma satir tentang ibu yang serba lemah. Kepahlawanan perempuan adalah lambang kebangkitan untuk terus melanjutkan spirit perlawanan terhadap kebengisan zaman. Setiap zaman mempunyai masalah dan pemecah masalah tersendiri.
Abad 19 adalah masa perintisan bangsa yang berdarah-darah. Maka yang dibutuhkan adalah mereka yang dapat memanggul diri turun di medan laga. Era milenia ini merupakan salinan dari era sebelumnya. Perjuangan tetap digaungkan, namun konteksnya yang lain.
Perempuan mempunyai seabrek agenda heroik kekinian yang harus dituntaskan. Komodifikasi perempuan dalam berbagai bentuk, halus ataupun kasar menjadi agenda penting. Perdagangan perempuan terus menanjak setiap tahun, kekerasan rumah tangga banyak yang menimpa perempuan, pelecehan seksual pada perempuan TKI, dan kisah minor perempuan lainnya.
Penjajahan tak lagi kasat mata. Ia menyelusup dalam nalar kehidupan. Perempuan seringkali berada pada titik lemah untuk mengatakan “tidak” pada penjajahan. Perjuangan perempuan kekinian adalah melawan penjajahan terhadap harkat dan martabat perempuan yang sering diinjak-injak. Narasi tentang ibu tak lagi bersifat minoritas dengan nada sumbang yang diasosiasikan dengan kelemahan fisik, lamban, dan entitas yang selalu tertindas. Narasi tentang ibu melampaui domain-domain bangsa. Ibu menjadi kuat dan tegak menghadapi zaman.
Hari Ibu ini adalah momentum besar menegakkan sendi-sendi perjuangan dan kepahlawanan pada dalam detak jantung kaumnya. Perempuan harus senantiasa menyambung lidah perjuangan dan kepahlawanan di bangsa ini. Agenda-agenda besar yang harus dilawan begitu banyak. Sekecil apapun perjuangan yang dilakukan jubah kepahlawanan laik disandang. Hari ibu adalah tantangan dan peluang bagi perempuan untuk menyuarakan keadilan, kesetaraan, dan perjuangan melawan segala bentuk penjajahan terhadap perempuan. Ibu harus menguarkan aroma perjuangan dan kepahlawanan mengiringi keberlangsungan bangsa ini, tidak sekadar cukup berada dalam ranah domestik.
digunting dari Jawa Pos/Opini, 22 Desember 2009
Komentar
Posting Komentar