Teks, Konsekuensi, dan Kebenaran


Oleh : Zakki Amali

Mitologi hukum karma selalu berlaku dalam kehidupan ini. Siapa menaman, dia menuai. Demikian halnya dalam menulis, siapa menulis dia menuai efeknya. Penulis mau tidak mau akan bersinggungan dengan realitas pembaca. Ketika teks dilempar, maka efek akan muncul.

Pisau analisis untuk membedah fenomena itu dapat mengacu pada formula: kematian penulis (author). Penulis telah mati. Artinya, buah karya penulis, secara lahir dan batin adalah milik khalayak. Melenceng atau tidak penafsiran pembaca atas teks itu sepenuhnya tidak bersangkut-paut terhadap pribadi penulis.

Namun, acapkali realitas itu menyeret penulis pada titik traumatik. Misalnya, pada kasus Andrea Hirata yang sementara ini berpamitan pada dunia tulis-menulis. Ia tidak memberitahukan prediksi sampai kapan ''turun gunung'' pada dunia yang membesarkannya. Barangkali selama masih ada pembaca yang sentimentil dan melenceng dalam pembacaan karyanya, maka ia akan tetap bercokol pada idealismenya.

Kisah tragik Andrea Hirata patut menjadi perhatian dan menarik untuk dikaji dan dikaitkan dalam konteks pembahasan ini. Berbalik dengan teori penulis telah mati, ternyata Andrea tak begitu. Ia masih hidup untuk merespons pembaca. Jika konsisten dalam teori itu, tidak seharusnya Andrea mengeluarkan pernyataan yang amat berarti itu. Ia seharusnya bersikap tegar seteguh karang menghadapi sikap pembaca.

Efek Tragis
Secara manusiawi ketika --meminjam istilah Pramudya Ananta Toer-- anak rohani itu lahir kemudian dikoyak dan pada akhirnya menimbulkan tragedi kemanusiaan, sens of humanity menjadi keniscayaan. Memori sejarah pada masa peradaban Islam di tlatah belahan Arab mengisahkannya.

Ibn Taymiyah (w 728 H./1328 M) harus menghadapi sikap penguasa lalim yang tidak sepaham dengannya. Dia dipenjarakan dan dibuang dari Mesir dan Suriah dikarenakan tulisan-tulisannya, dan setelah mengeluarkan fatwa yang menyinggung mereka yang berkuasa, dia dibiarkan mati di dalam penjara (Khaled Abou El Fadl, 2002 : 48).

Teks yang tercipta menjadi semacam kekuatan lembut (soft power) yang menohok alam pikir penguasa. Hasrat kekuasaan merengkuh sikap arif dan bijak penguasa. Sehingga tanpa meraba hari depan, penguasa itu menggerakkan tangan dinginnya untuk memarjinalkan seorang yang tak sepaham dengannya. Otoritarianisme adalah tuan dari semua itu.

Senasib namun beda tempat, di Indonesia tak luput dari tragedi semacam itu. Pramudya Ananta Toer adalah buku tragedi nyata yang menggambarkan otoritarianisme penguasa. Buku-bukunya dilarang beredar di Indonesia karena ditengarai akan meniupkan ruh marxisme, leninisme, dan komunisme, yang pada dikhawatirkan akan merusak negara. Karena dari paham itu gerakan PKI akan tumbuh lagi. Dengan dalih itu, pada era revolusi kemerdekaan sampai Orde Baru, Pram berkali-kali dipenjara tanpa pengadilan dan alasan yang jelas.

Multiefect yang ditimbulkan Muhyidin M. Dahlan lebih bombastis lagi. Dengan novelnya bertitle Tuhan, Ijinkan Aku Menjadi Pelacur, ia harus berhadapan dengan sederet pasukan yang mengatasnamakan agama langit yang akan ''memeranginya''. Novel itu dinilai menyalahi etika dan melecehkan harkat agama tersebut. Berkali-kali Gus Muh, panggilan dalam blognya, menghadapi gugatan dari kelompok yang tidak setuju dengan novel tersebut. Tapi, ada juga yang menanggapinya dengan apik dan kreatif, yakni dengan membuat buku tandingan. Misalnya dalam blognya (http://akubuku.blogspot.com), terdapat buku tandingan berjudul Tuhan, Jangan Biarkan Saudariku Menjadi Pelacur dan Tunjukilah Kami Jalan Yang Lurus: Memoar Kepedulian Seorang Muslim. Gus Muh juga pernah mendapatkan somasi dari Majelis Mujahiddin Indonesia atas karya novelnya yang lain: Adam Hawa.

Masih banyak kisah efek teks yang mencengangkan. Setidaknya dari kisah itu kita dapat melihat betapa besar efek (positif maupun negatif) sebuah teks. Barangkali tepat jika pena dikatakan sebagai senjata. Senjata ampuh yang tak terlihat, kasat mata, namun efek yang ditimbulkannya bisa sangat besar.

Menggungkap Kebenaran
Pada akhirnya teks membutuhkan tanggung jawab atau konsekuensi dari penulis. Kadar bobot inteegritas seorang penulis akan diuji ketika teks yang telah dilahirkan mengalami penafsiran demi penafsiran, sekalipun bertabrakan dengan kepentingan penguasa. Di sinilah kebenaran mewujud sebagai sebuah ideologi teks.

Ibn Taymiyah, misalnya, adalah amsal nyata kesungguhan integritas mengimani teksnya, sampai wafat. Konsep mengungkap kebenaran dijalankan tidak setengah-setengah.

Berisiko memang, misalnya, mengungkap kebenaran dalam himpintan perkoncoan dan kekerabatan, lewat teks. Dalam dunia jurnalistik konsep ini adalah teori dasar, bahwa sepahit apa pun fakta harus diungkap, lewat pemberitaan di surat kabar, misalnya.

Titik simpul pada relasi teks dan konsekuensi menyajikan tegangan antara kebenaran dan kekuasaan. Tokoh literasi Indonesia seperti Pramudya Ananta Toer juga mengalami kegetiran mengungkapkan kebenaran. Karya-karyanya dibakar tak keruan oleh penguasa, lantaran substansi karya tersebut dianggap membelot dari kebenaran penguasa. Di Indonesia kisah getir semacam itu termasuk sangat banyak. Hampir setiap teks yang bertentangan dengan kebenaran komunal penguasa, akan diberangus. Padahal karya tersebut belum tentu membawa kenistaan terhadap penguasa, tidak jarang berbalikan.

Dalam sebuah pertaruhan kebenaran Galileo Gelilei telah melakoninya. Ketika otoritas gereja Italia saat itu meyakini bahwa bumi adalah pusat alam semesta, Galileo sebaliknya. Dengan segenap argumentasi ilmiahnya ia tetap mengimani pendapat Copernicus yang menyatakan bahwa mataharilah pusat alam semesta. Pendapatnya yang tak sepaham dengan otoritas kekuasaan saat itu mengantarkannya pada hukuman pengucilan hingga wafat. Namun pada masa berikutya, otoritas gereja Italia mengakui bahwa pendapat Gelileo-lah yang benar. Di sinilah risiko mempertahankan kebenaran diuji. Kebenaran tidak selamanya terbukti sekejap, sim salambim, melainkan menunggu waktunya untuk membuktikannya. Maka, selamanya kebenaran adalah kebenaran.

Pada akhirnya sebuah ikhtiar literasi selalu bersanding dengan segudang risiko dan beribu ancaman akan pemberangsusan dan penolakan terhadap teks. Pada titik ini keberanian mengungkap kebenaran menjadi pertaruhan. Mempertaruhkan diri pada kebenaran dan dari teror penguasa lalim. (*)

digunting dari Jawa Pos, 05 Juli 2009

Komentar