Laku Jigang Orang Kudus

Oleh : Zakki Amali

Kudus, kota dengan beragam aktivitas industrialnya tak menafikan aspek relegiusitasnya. Atmosfir itu sangat mudah dijumpai di Kudus, seperti di pasar dan daerah pabrik rokok. Pagi buta warga kudus sudah memulai aktifitas dunianya, mencari nafkah. Saat senja melambai di ufuk barat, aktifitas pun berubah seketika. Lalu lalang warga memenuhi tempat ibadah, majlis taklim, pengajian merupakan pemandangan lumrah di Kudus. Artinya, denyut kehidupan warga Kudus memasuki alam akhirat.

Ilustrasi tersebut bukan hendak mengambarkan pemisahan yang tajam dengan citraan-citraan simbolik, melainkan hendak mewartakan adanya sinergitas dua kehidupan di Kudus, kehidupan dunia dan akhirat. Rutinitas menjaga keseimbangan dua kehidupan itu mengkristal pada satu konsepsi pola laku warga Kudus, Jigang (ngaji dan dagang).

Jigang adalah filosofi laku orang Kudus. Orang Kudus benar-benar mengimaninya. Bahkan menjadi salah satu syarat kultural bagi pengantin laki-laki jika ingin menikahi perempuan Kudus, harus bisa ngaji dan berdagang.

Akar Jigang
Akar jigang barangkali dapat kita lacak dari tradisi keilmuan yang telah mengakar di Kudus dan gelora industrialsiasi yang telah lama bercokol. Istilah ngaji dalam legenda ketokohan Sunan Kudus Raden Dja'far Shadiq merupakan suata hal yang istimewa. Sunan Kudus dikalangan Walisanga dikenal sebagai waliyulilmi (wali yang sangat pintar). Gelar ini menunjukkan geliat keilmuan yang telah lama terpancangkan di Kudus. Di sini ngaji bermakna ilmu.

Cerita tutur yang beredar di masyarakat menunjukkan hal demikian, bahwa tradisi keilmuan di Kudus sangat tinggi. Misalnya, sabda Sunan Kudus yang terkenal, “Kudus bakul ora kulak”, yang artinya Kudus adalah gudang ilmu. Bakul bermakna gudang. Maka, jika boleh dikaitkan dengan realitas kekinian, Kudus menjadi kota penting dalam referensi pendidikan. Di Karisidenan Pati, Kudus seakan merajai tingkat keterpikatan anak-anak untuk bersekolah. Dengan kata lain, Kudus mampu menyedot warga daerah sekitar untuk menuntut ilmu di sana. Kudus menjadi bakul dalam artian rujukan masyarakat melabuhkan anaknya untuk bersekolah.

Tradisi keilmuan (ngaji) setelah masa Sunan Kudus, terus dikembangkan oleh tokoh agama di Kudus yang menasional, semisal KHR. Asnawi, KH. Turaichan Adjhuri, KH. Syukron Makmun, KH. Arwani Amin, KH. Hisyam Hayat, sampai yang masih hidup KH. Sya’roni Ahmadi. Keberadaan mereka menyuburkan tradisi keilmuan dengan mengadakan majlis-majlis ilmu agama. Para tokoh tersebut semasa hidupnya selalu menyemaikan konsepsi ngaji dalam kesehariannya. Gelombang inilah yang meneguhkan spirit ngaji menjadi laku hidup orang Kudus. Inilah akar konsepsi ngaji yang merupakan laku kultural orang Kudus.

Dagang
Konsepsi dagang barangkali muncul seiring gelombang industrial menggelora di Kudus. Industri rokoklah yang menjadi denyut awal industrialisasi di Kudus, bahkan bertahan sampai sekarang dan terus berjaya.

Mark Hanusz (Kretek, The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes, 2003), mengambarkan tumbuhnya industri rokok krerek di Kudus muncul antara tahun 1870-1880 dengan dilpelopori H. Jamahri. Industri rokok memasuki masa awal kejayaan pada masa Nitisemito pada 1906 dan pada 1908 rokok kreteknya resmi terdaftar dalam pabrik “Tjap Bal Tiga”.

Konsep geografis pada letak sebuah kota juga barangkali menjadi argumentasi penting melihat akar tradisi dagang di Kudus. Secara geografis Kudus terletak di lintasan jalur pantai utara jawa (Pantura). Jika hendak melintas dari Jawa Timur ke Jawa Tengah atau sebaliknya jalur ini menjadi pilihan utama.

Secara langsung maupun tidak arus transportasi yang sangat ramai pun terbentuk. Dan itu menjadi alasan penting meretas bisnis. Karena secara ekonomi suatu tempat yang ramai merupakan situasi yang strategis menjaring pembeli. Keramaian membawa takdir kemajuan ekonomi bagi masyarakat Kudus. Karena di sana masyarakat membutuhkan pemenuhan kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Dari nasi sampai pulsa. Faktor industrialisasi dan konsepsi geografis Kudus menciptakan kultur dagang yang kuat dan mengakar.

Sinergisitas
Amsal menarik melihat laku jigang di Kudus terdapat pada keberadaan Tarikat Syadzaliyah di Kudus. Radjasa Mu’tasim dan Abdul Munir Mulkhan dalam buku Bisnis Kaum Sufi: Studi Tarekat dalam Masyarakat Industri (1998), mengambarkan pola hidup yang sinergis antara dua kehidupan dunia-akhirat. Gerakan tarikat ini tidak menafikan kehidupan dunia yang sekarang sedang dihadapinya. Tetapi sisi akhirat tetap menjadi suatu hal yang penting.

Pada sisi ekonomi gerakan ini mampu menawarkan solusi kesejahteraan hidup bagi penganutnya. Dan pada sisi akhirat, rutinitas tarikat tetap dilakukkan dengan kontinui. Pagi hingga sore mereka berbisnis atau berdagang di pasar, Dan ketika malam tiba mereka melakukan ritual tarikat dengan hikmat.Sehingga kebutuhan raga berupa pemenuhan aspek material seperti sandang, pangan, dan papan terpenuhi. Dan kebutuhan jiwa berupa asupan non material seperti ketenangan batin pun mereka dapatkan. Pada akhirnya mereka mendapatkan dua ketenangan sekaligus, dunia dan akhirat. Inilah spirit jigang yang patut dicontoh oleh semua orang.

Gerakan tarikat di atas menghalu styriotipe yang mengatakan bertarikat tidak ada kaitanya dengan kehidupan dunia. Tarikat murni berurusan dengan kehidupan akhirat.

Pancaran spirit jigang tak hanya sampai pada pola kultural masyarakat Kudus. Pemkab Kudus juga turut mengadopsi konsep ini menjadi sebuah sesanti Kota Kudus, yang relegius dan modern. Sesanti yang dibangun bukan sekadar ciptaan yang artifisual, tetapi lebih menjurus ke dalam denyut nadi kultural Wong Kudus.

Relegiusitas di Kudus disimbolkan dengan adanya dua Walisanga, yakni Sunan Kudus Raden Dja’far Shadiq dan Sunan Muria Raden Umar Said. Sementara modernitas yang menjadi simbol Kudus juga tak kalah jelasnya terlihat. Mall-mall berdiri megah, gaya berpakian yang sudah menyimbolkan gaya perkotaan, sampai menjamurnya warnet yang merupakan produk teknologi dan simbol kesadaran melek jaman.

Laku jigang orang Kudus adalah sebuah pelajaran penting melihat dan memaknai kehidupan yang kata orang jawa, mung mampir ngombe.

digunting dari Media Indoensia, 13 Juni 2009

Komentar