Oleh : Zakki Amali
Idul Fitri telah berlalu, namun tidak bagi masyarakat Jawa Tengah. Karena Idul Fitri yang jatuh pada tanggal 1 Syawal masih akan diteruskan dengan tradisi Syawalan. Tradisi Syawalan digelar tepat pada tanggal 8 Syawal. Berbagai daerah mempunyai bentuk khas kegiatan Syawalan ini. Setidaknya ada tiga pola tradisi Syawalan di Pantura yang sarat makna.
Haul
Pertama, ziarah kubur atau haul. Kota Kaliwungu dan Kudus mempresentasikan pola ini.
Masyarakat Kaliwungu mengadakan ziarah kepada ulama besar Kaliwungu Kiai Asy’ari (Kiai Guru).Awalnya acara ini hanya dilakukan oleh pihak keluarga, sanak famili, dan orang-orang terdekat Kiai Guru.
Namun seiring waktu, warga muslim di Kaliwungi turut menghormati orang yang menurut mereka berjasa besar dalam penyebaran agama Islam. Berkembangnya jumlah masyarakat ini juga membawa dampak pada penyelenggaraan acara dan wilayah ziarah kubur. Jika awalnya Syawalan terpusat pada makam Kiai Guru, kini melebar kepada sesepuh-sesepuh lain yang telah berjasa di Kaliwungu, seperti makam Sunan Katong, Pangeran Mandurarejo (seorang Panglima Perang Mataram) dan Pangeran Pakuwaja, Kiai Mustofa, Kiai Musyafa’, dan Kiai Rukyat.
Sementara di Kudus terdapat tradisi Bulusan. Inti tradisi ini adalah memberikan penghormatan kepada Umara dan Umari yang disabda menjadi kura-kura air tawar (bulus) dan sahabat Sunan Muria Mbah Dada. Berubahnya Umara dan Uamri menjadi bulus berwal dari kelalaiannya meramaikan hari agama malam Nuzulul Al Qur’an. Pada malam itu mereka malah sibut ndaut (mengambil benih padi di sawah). Singkat cerita Sunan Muria Raden Umar Said melintasi sawah tersebut dengan sedikit gerundel. “Malam nuzulul Al Qur’an kok tidak membaca Al Qur’an, malah berendam di air seperti bulus”. Maka seketika itu, Umara dan Umari berubah wujud menjadi bulus.
Namun, di lain waktu ketika Sunan Muria melintas lagi dan bercakap dengan bulus itu, Sunan Muria memberikan kolam atau sendang sebagai “rumah”. Dan Sunan Muria pun berujar, “Besok anak cucumu akan menghormatimu setiap satu minggu setelah hari raya lebaran pada bulan Syawal”. Maka, sampai saat ini tradisi tersebut berlangung dan dikenal dengan Bulusan.
Tradisi ziarah kubur ini menurut Koentjaraningrat dalam Kebudayaan Jawa (1984: 328) merupakan salah satu tradisi dan budaya Islam Jawa yang masih hidup, dan menjadi media penghormatan kepada makam-makam orang suci, baik ulama atau kiai.
Lomban
Pola kedua bertema bahari, yakni Lomba yang diadakan di Semarang, Demak, Jepara dan Rembang. Lomban merupakan tradisi penghormatan terhadap penguasa laut. Asosiasi ini, saat ini merujuk kepada Tuhan sebagai wujud syukur atas rezeki hasil laut yang melimpah ruah. Dahulu larung sesaji ditujukan untuk mahluk halus atau yang bau rekso penguasa laut.
Sesaji yang dilarung berbeda-beda. Di Jepara dan Rembang, misalnya. Perbedaannya terletak pada kepala hewan. Di Jepara adalah kepada Kerbau, sementara di Rembang adalah kepala Kambing. Namun, secara substansi orientasinya sama yakni memohon kepada Tuhan melalui ritual larung agar diberi keselamatan dalam melaut dan hasil yang melimpah.
Ritual ini penting dilakukan karena laut sebagai sebuah dimensi mistis adalah kerajaan besar nan abadi para mahluk halus, setidaknya mitos Nyi Roro Kidul menjadi dalih itu. maka, masyarakat pesisir yang bergantung kepada laut mau tidak mau melakukan ritual untuk menghalau hal-hal yang tidak diinginkan. Sementara dalam dimensi alam, laut entitas yang tidak stabil. Atinya gelombang badai, ombak besar siap menerjang nelayan di laut lepas. Maka melalui Lomban harapan akan keselamatan diungkapkan.
Kuliner
Perayaan Syawal pola terakhir adalah terkait denga kuliner. Ada tiga kota yang mempunyai tradisi ini, Pekalongan, Jepara, dan Kudus. Di desa Krapyak, Pekalongan Utara, Kota Pekalongan masyarakat membuat kue lapis raksasa untuk merayakan Syawalan. Menurut cerita yang berkembang, kebiasaan membuat kue lapis itu sudah mulai sejak tahun 1936. Tradisi ini merupakan strategi syiar agama Islam para ulama saat itu dan sebagai bentuk kepedulian sosial terhadap masyarakat, khususya yang kurang mampu. Gunungan kue lapis itu diperebutkan oleh masyarakat. Konon lantaran lapis itu berkah dan rezeki yang melimpah akan datang.
Di Jepara, selain Lomban, masyarakat pesisir juga mempuyai tradisi Perang Ketupat. Acara ini dilangsungkan usai larung sesaji atau Lomban di Pantai Kartini. Perang ini diperagakan oleh nelayan yang mengiringi Lomban. Pada tahun ini perang ketupat ditiadakan, karena khawatir akan ekses negatif. Pasalnya tahun kemarin, wisatwan ada yang terluka akibat lemparan ketupat yang meleset. Sehingga ada semacam kekuranglengkapan dari perayaan Syawalan bertema kuliner tahun ini.
Di Kudus tradisi Syawalan selain Bulusan adalah kirab 1000 ketupat di Desa Colo, Gunung Muria. Kirab tersebut baru diselenggarakan sudah tiga tahun ini. Meski tergolong tradisi baru, animo masyarakat sangat besar. Ini terbukti dengan pengunjung tahun ini yang membludak, sampai jalan menuju lokasi macet total. Akhir acara ini sebagaimana pembuatan lapis raksasa di Pekalongan menjadi ajang cari berkah lewat gunungan makanan yang di kirab tersebut.
Pada titik ini kuliner bukan sekadar kebutuhan perut, tetapi menjadi ajang pemaknaan atas hari yang fitri, dimana manusia kembali suci. Kuliner mempresentasikan harapan-harapan akan keselarasan bermasyarakat. Lapis, ketupat, dan lepet adalah simbol-simbol masyarakat Jawa untuk berkomunikasi. Lapis merupakan simbol keselarasan. Karena dalam satu bentuk jajan itu terdapat perbedaan warna dan rasa. Maka, ketika perbedaan itu bersatu akan terlihat indah dipandang. Di sini, harapan akan toleransi bermasyarakat sebagai titik simpulnya.
Begitu pula ketupat dan lepet adalah simbol maaf-memaafkan. Ketupat berarti ngaku lepat (mengaku salah), sementara lepet berarti dilep rapet-rapet (dibenamkan dalam-dalam) kesalahan-kesalahan masa lalu, untuk kemudian membuka lembaran berkehidupan yang baru.
Dengan demikian pola tradisi Syawalan di Pantura ini sangat beragam dan mempunyai makna masing-masing yang bersinergi membangun masyarakat yang toleran dan peduli terhadap sesama. Satu simpulan menarik pada bulan kelahiran manusia-manusia suci ini adalah keselamatan lahir batin. Agar dapat dipertemukan kembali tahun mendatang. Semoga.
sumber foto : septina navoyanti
BalasHapus